{reginnaginna's Note}
Maaf, karena saya kembali dengan bagian kedua yang lebih pendek. Sebenarnya saya sendiri kurang puas dengan bagian kedua ini, tapi karena saya mengikuti alur yang mirip dengan alur cerita yang lama, jadi bagian kedua ini memang tidak terlalu panjang. Selamat membacaa~
Instagram dan Twitter: reginnaginna
*
Gadis berambut pirang madu itu tergeletak di atas pasir pantai yang bersih dengan ombak kecil yang sesekali menyapu ujung jari kakinya. Perlahan gadis itu membuka matanya dan menyipitkannya berusaha menyesuaikan matanya dengan sinar matahari yang dengan terang-terangan bersinar tepat ke arahnya.
"Dimana ini?" tanya gadis itu lirih pada dirinya sendiri. "Ini kakiku?"
Gadis itu menyingkirkan gunungan pasir yang menutupi kaki hingga betisnya sambil terus berusaha menahan sakit akibat sengatan matahari di kulitnya.
"Tentu saja ini kakiku, dasar bodoh," rutuk gadis itu pada dirinya sendiri sambil tertawa kecil.
"Kau gila."
"YA TUHAN!" jerit gadis itu keras-keras.
Sesosok pria muda dengan celana pantai birunya menatap gadis berambut pirang madu itu lekat-lekat tanpa gadis itu sendiri sadari.
"Aku hampir saja menelpon nomor darurat kalau kau tidak bangun dalam hitungan 10 detik."
"Hah?"
"Ini bukan tempat umum, Nona. Bagaimana bisa kau ada di sini?"
"Aku--" Gadis itu mengernyit bingung. Ia sendiri tidak tahu bagaimana bisa dirinya berakhir di tepi pantai.
"Siapa namamu? Biar kuantar pulang, matahari sudah hampir tenggelam."
Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan padanya, gadis itu malah mengalihkan perhatiannya ke hal lain, ia dibuat berdecak kagum oleh langit sore dengan semburat jingga keunguan di hadapannya.
"Nona?"
"Ah, iya?"
"Alamat rumah?"
Mata gadis itu membulat menatap mata cokelat yang beradu pandang dengan matanya.
"A-aku tidak ingat alamat rumahku."
"Jangan bercanda, ini sama sekali tidak lucu."
"Aku tidak bercanda."
"Tak bisa dipercaya," desis pria muda itu sambil bangkit berdiri dan membersihkan sisa pasir pantai di celana pantainya.
"Maaf"
"Siapa namamu?"
"Eh?" Untuk yang kesekian kalinya, gadis itu kembali terlihat gugup dan terkejut. "Namaku, er, aku tidak ingat."
"Jangan bilang kau hilang ingatan," ucap pria muda itu sambil tertawa geli.
Tapi, melihat pandangan mata gadis asing yang terlihat bersungguh-sungguh itu membuat tawa pria muda itu berangsur-angsur menghilang.
"Wow. Kau benar-benar amnesia."
"Anmesai?"
"Sepuluh ditambah dua sama dengan?"
"Dua belas?"
"Apa nama laut terdalam di dunia?"
"Palung Mariana?"
Lagi-lagi pria muda itu tertawa, tapi kali ini tawanya terdengar canggung. Tidak biasanya ia berlari di sore hari dan menemukan seorang gadis yang hilang ingatan terdampar di pantai pribadi milik pamannya. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Tidak, bukan itu pertanyaan yang tepat. Apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya seorang siswa berusia tujuh belas tahun yang tidak tahu bagaimana cara mengurus orang yang menderita hilang ingatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of A Mermaid
FantasyTales of A Mermaid. Mungkin kebanyakan dari kalian tidak akan percaya, aku yakin itu. Tapi percayalah satu hal, kami tidak memiliki niatan buruk. Kau ingin bukti? Buktinya kebanyakan dari kalian bahkan tidak tahu sama sekali mengenai peradaban kami...