Chapter 1

7.3K 758 79
                                    

Seungcheol benar-benar berharap soulmate-nya tidak usah muncul dalam hidupnya dan mengikat dirinya.

Harapan itu selalu saja Seungcheol panjatkan pada Tuhan setiap kali ia membuka mata dipagi hari. Di umurnya yang kini menginjak angka 26 tahun, Seungcheol menganggap hidupnya telah sempurna. Memiliki profesi yang mapan sebagai seorang arsitek, kehidupannya dapat dikatakan cukup nyaman dan berkecukupan. Ia tak pernah merasa kekurangan meski pergelangan tangannya masih absen dari hadirnya tattoo yang dinanti-nanti banyak orang, dan ia tak pernah menginginkan hal itu terjadi.

Untuk itu, Seungcheol sangat membatasi diri dari dunia luar. Bukan introvert, tapi menghindari publik menurunkan potensi bertemu dengan soulmate-nya, kan? Meski enggan mengakui bahwa dirinya memiliki ketakutan akan pertemuan dengan sosok yang 'ditakdirkan' dengannya, namun kenyataannya hal itulah yang selalu Seungcheol khawatirkan setiap kali kakinya melangkah keluar dari comfort zone yang ia ciptakan.

Terlebih lagi, profesinya pun tak begitu mengharuskannya untuk berkunjung ke dunia luar terlalu sering. Sebisa mungkin, Seungcheol selalu meminimalisir berhubungan dengan ini dan itu yang mengharuskannya bertemu manusia-manusia lainnya. Kehadiran seorang asisten bernama Lee Seokmin selalu siap sedia membantu Seungcheol dalam menangani kebutuhan-kebutuhan tersebut juga memudahkannya dalam menghindari interaksi sosial yang tidak terlalu membutuhkan perhatian langsung darinya.

Namun kini Seungcheol justru tengah mengendarai mobilnya membelah jalanan kota untuk menemui calon klien yang akan menggunakan jasanya. Seungcheol benar-benar ingin memarahi Seokmin yang baru mengabari bahwa ia tengah demam tinggi, satu jam sebelum waktu yang dijanjikan dengan calon kliennya. Seokmin berkilah bahwa ia masih baik-baik saja dipagi hari tadi dan tiba-tiba demam itu muncul saat ia akan berangkat dari apartemennya.

Dan di sini lah Seungcheol sekarang, menanti lampu lalulintas berubah hijau. Seungcheol menatap kedua pergelangan tangannya yang bersih tanpa goresan hitam apapun sambil kembali berharap keduanya akan tetap seperti itu ketika ia pulang nanti. Suara klakson dari arah belakang menyadarkan Seungcheol dari lamunannya. Lampu lalulintas telah menjadi hijau rupanya.

Dalam perjalanan menuju kantor calon kliennya, mata Seungcheol menangkap sebuah bangunan yang menarik perhatiannya. Bangunan minimalis itu berwarna putih dengan tulisan besar berwarna hitam bertajuk Dream Café. Seungcheol merasa bangunan itu tidak asing baginya, namun ia tak merasa pernah menjejakkan kakinya di sana.

Tanpa sadar, Seungcheol telah memarkirkan mobilnya di depan bangunan itu. Segelas cappuccino hangat mungkin akan meredakan rasa kesalnya pada Seokmin, pikir Seungcheol. Lagipula, ia masih memiliki sedikit waktu dan kantor kliennya berjarak tidak begitu jauh dari sini. Ketika Seungcheol membuka pintu kaca dan melangkah masuk, suasana hangat serta merta menyambutnya, rasa familiar yang tadi dirasakannya kembali datang. Interior café itu didominasi warna putih dengan beberapa sentuhan warna biru serenity diantaranya, dan Seungcheol benar-benar menyukai perpaduannya.

Di dalam café, ia tak melihat seorang pun ada di sana, pelanggan maupun pelayan. Hanya ada lagu akustik yang melantun pelan memenuhi café yang kosong itu. Padahal, seharusnya sekarang telah memasuki jam makan siang di mana biasanya café-café dan restoran dipenuhi para pelanggan yang kelaparan.

Melangkah lebih dalam memasuki café dan berdiri di depan counter, Seungcheol melongokkan kepala mencari seseorang yang dapat menerima pesanannya. Kemudian, laki-laki bermarga Choi itu membunyikan lonceng kecil yang berada di atas counter, berharap ada seseorang menyadari keberadaannya, lalu kembali memanjakan matanya pada hiasan yang berada di sana. Tak berapa lama, ia mendengar pintu yang dibuka pelan, dan suara langkah seorang dari ruangan yang sepertinya merupakan dapur di café itu.

Kata TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang