Chapter 14

4K 386 70
                                    


Bukan untuk dirinya sendiri, Seungcheol tetap hidup untuk Jeonghan, sang candu, di mana ia menyerahkan diri seutuhnya.

Kali terakhir bertemu, Seungcheol memuja Jeonghan dalam tiap hembusan nafas. Ia mencintai Jeonghan lewat kecupan pada tiap inchi tubuhnya, diantarkan pengalaman yang membuat percintaan mereka semakin berharga. Kedua maniknya merekam bagaimana Jeonghan menengadah dalam puncaknya, hangat punggungnya di dada Seungcheol menambah cinta yang terasa kala ia membuka mata.

Kini, dua bulan sejak saat itu, rindu menjadi hal mutlak yang tak perlu dipertanyakan. Pintanya hanya berupa genggaman hangat Jeonghan pada jemarinya. Terlebih, Jeonghan sakit di seberang lautan sana, Seungcheol bergelung dengan sakit milik soulmate-nya sepanjang malam, dengan diselimuti rasa rindu yang menggebu. Air matanya mengalir begitu saja tanpa sempat ia menahan, sebuah eksplanasi tanpa kata untuk perasaan yang mengganggunya.

Ketika malam panjang terlewati kala itu, ada sebuah emosi baru yang bahkan tak mampu dihadirkan Doyoon padanya. Takut kehilangan, Seungcheol merasakan hal itu untuk pertama kalinya. Tattoo di pergelangan tangan yang berdenyut tak nyaman sepanjang hari sama sekali tak membantu meredakan emosi. Tiba-tiba saja sepi tanpa Jeonghan menghampiri dalam pikirannya. Seungcheol butuh Jeonghan, selamanya akan tetap begitu, dan bayangan akan kehidupan tanpa adanya Jeonghan benar-benar menakutinya.

Dalam sakit dan rindu, Seungcheol berkendara menuju apartemen Jeonghan berbekal password dari ingatannya. Wangi khas milik Jeonghan menyerbunya ketika ia membuka pintu, membawanya tertidur dengan hangatnya selimut sebagai kepura-puraan akan pelukan yang biasa diberikan soulmate-nya. Tak ada wangi masakan yang menyambut ketika ia terbangun di sore hari, yang dalam keimpulsifan membawanya kembali berkendara dengan Dream Café sebagai tujuan utama.

Kopi dan cake dari café itu adalah sebuah harapan atas rasa rindu yang begitu menggebu. Tapi di sana, Lee Jihoon, bagian dari kehidupan Jeonghan, memanggilnya. Seugcheol memberikan senyuman lemah sebagai ganti sapaan yang diterimanya. Jihoon bergegas mendekatinya, mengajaknya bicara dalam rangkaian kata yang tak mampu terdengar olehnya disaat kegelapan menjemput.

Lama ia berdiam dalam gelap, abai dengan bagaimana Jihoon kepayahan mengurusinya. Laki-laki bertubuh mungil itu diselimuti panik dalam tenang yang susah payah dibangunnya ketika terang kembali pada Seungcheol. Lamat-lamat ia memperhatikan Jihoon berbincang dengan seseorang di ponselnya, air mata yang tiba-tiba mengalir bersamaan dengan nama Jisoo di bibir membuatnya melawan lelah untuk berdiri.

Jawaban seseorang di seberang sana membuat Jihoon membeku dengan air mata yang tak kunjung berhenti, memberikan perasaan tak enak di dadanya. Ada sesuatu yang salah, Seungcheol yakin akan hal itu. Jantungnya terasa nyeri akibat perasaan asing yang tersampaikan dari gestur tubuh Jihoon.

"Tentu, aku akan berangkat ke bandar udara sekarang. Kutitipkan Jeonghan dan Jisoo padamu."

Kalimat itu dipilih Jihoon untuk menyudahi sambungan telepon, bersamaan dengan retaknya hati Seungcheol. Rasa nyeri itu semakin menjadi-jadi, tanpa sadar ia telah mendesak Jihoon untuk sebuah penjelasan yang berubah menjadi bentakan. Jeonghan tak sadarkan diri, hanya hal itu yang memenuhi pikirannya, kakinya membawa Seungcheol menuju pintu keluar. Lututnya yang semakin melemas akan membawanya jatuh jika bukan karena pintu café yang menjadi tumpuannya. Di sana, dirinya dan Jihoon saling berteriak untuk alasan yang berbeda.

"Aku harus ikut denganmu ke Jepang, Jihoon!"

Jihoon tak mengerti bagaimana rasa sakit yang kini tengah dirasakannya. Jihoon tak akan pernah mengerti keinginannya untuk merengkuh Jeonghan dengan kedua tangannya. Jihoon tak mengerti, dan tak akan pernah paham atas dirinya. Seungcheol tersadar, Jihoon bahkan tak mengetahui realita yang sebenarnya ada di antara mereka.

Kata TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang