Tak ada yang baik-baik saja selama hujan terus menderas.
Kamu merogoh tas jinjing biru tua yang melingkar manis di tangan kananmu, mengeluarkan sehelai tisu dan mengusapkannya ke kedua mata. Hari ini tidak sedang hujan dan seharusnya kamu baik-baik saja. Bukan sebaliknya. Kamu malah mengundang hujan itu turun dari mata dan kesedihan pun turut hadir.
"Laras tidak mungkin kembali. Jika kamu menyesali kepergiannya, itu hanya akan menyekat jalannya ke atas langit, kau paham?"
Sehelai tisu telah basah oleh hujan air mata begitupun rintikan dari Sang Kuasa, membuat wajahmu berkilap. Seharusnya jika kita sedang di rumah sekarang, alunan musik perpisahan lebih cocok menciptakan suasana.
"Kalau saja kecelakaan dua bulan lalu tak pernah terjadi," ujarmu sambil menatap lurus ke atas. Kamu mendongak ketika kilatan sinar membelah langit.
"Lolipop?" Aku menawari. Kamu menggeleng pelan.
"Ayahku bilang, lolipop bisa menceriakan kembali orang yang sedih," tandasku, "dulu aku pemalu, pendiam dan amat cengeng. Tidak punya kawan dan akhirnya selalu sendiri. Ayah selalu memberiku lolipop."
Kamu beralih menatapku. Tujuh detik. Dalam sekali. Seakan ada kata yang menyumbat di kerongkongan. Sesaat kembali menatap ke atas.
"Kakak adalah segalanya bagiku," ceritamu. "Setelah orang tua kami bercerai, dia yang mengajakku pergi mencari sudut pandang baru. Kak Laras yang mendorongku memijakkan kaki di kota kecil ini."
Keramaian di taman ini mulai terbelah. Beberapa orang mulai berlarian dan meninggalkan. Hanya segelintir yang menetap. Kursi panjang serasa spesial. Tertancap kokoh di bawah pohon besar, membuatnya aman dari amukan hujan yang selalu turun tak mengenal musim.
"Kakakmu, juga segalanya untukku."
***
Empat tahun lalu aku bertemu dengan pustakawan perpustakaan.
Tidak seharusnya aku pergi ke perpustakaan, kalau hanya mencari referensi untuk mengejar tugas akhir. Aku harus berurusan dengan pustakawan karena menghilangkan buku yang kupinjam. Lucunya, buku itu kutemukan di sudut terdalam lemariku dua tahun kemudian. Padahal saat dulu dicari benar-benar tidak ada.
"Hendri," ucapku, saat seorang pustakawan muda tepat di hadapanku menanyakan identitas. "Hendri Irawan, Fakultas Ekonomi. Buku Makroekonomi Walter Nicholson," imbuhku sembari menyesalinya.
Dia menatapku datar dari balik bingkai. Aku yakin bingkai matanya takkan meluncur jatuh karena hidungnya yang tajam. Gerai rambut hitam sepunggung itu takkan terlupakan.
Sebenarnya aku bukan pecandu buku yang senang mondar-mandir ke perpustakaan, tapi baru kali ini aku bertemu dengannya selama empat tahun perkuliahanku di sini.
"Kau harus bayar denda dan mengganti buku itu. Dan menyumbang sebuah buku," tukasnya singkat dan cepat.
"Peraturannya tidak seperti itu. Kau orang baru di sini?" belaku.
Pustakawan muda itu tak acuh. "Buku itu untukku, karena sudah membuat repot hari ini."
Aku mengernyitkan dahi. Tapi itulah pertemuan pertama yang mengundang pertanyaan di benak hingga sembilan puluh malam setelahnya. Perihal seorang gadis muda yang menjadi pustakawan dan menuntut sebuah buku sebagai imbalan atas hasil kerjanya. Kupikir dia seorang pencuri hak orang lain. Tapi nyatanya tidak. Aku tiba-tiba merasakan hal yang berbeda.
Setidaknya dia sudah mencuri secuil ruang dalam istana hatiku.
***
--berlanjut--
![](https://img.wattpad.com/cover/97052136-288-k941766.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesal Muara
RomantizmPoligami itu tidak salah, kan? Sebenarnya aku tidak melakukan itu, tetapi kalian berdua sungguh memesona.