Part 3

196 11 0
                                    

"Kaupikir aku bodoh? Buta?" teraknya suatu malam yang pekat. Tiga hari setelah ulang tahun pernikahan kami yang ketiga. Saat kamu datang menginap beserta keluargamu yang lain.

Aku tak menyangkal kemarahan Laras ketika hubunganku denganmu terungkap. Aku mencintaimu dan Laras. Dan kupikir tidak ada yang salah mencintai dua wanita selama aku memang menenggelamkan diriku dalam-dalam pada mereka. Dua bulan setelah pertemuan itu, kita kembali dipertemukan secara tak sengaja di suatu tempat. Di saat itulah, aku mengatakan semua perasaanku padamu.

"Semua ini rumit Ras. Aku mencintaimu. Tapi .... "

"Tapi pada akhirnya, kamu malah menuju pada dua muara? Kamu itu jahat, Hen. Adikku sendiri."

"Aku ... hei, Laras. Aku bisa menjelaskannya. Hei!"

Hujan menderas di mata Laras. Dia berlalu, lalu mengerling tajam padamu di luar pintu. Aku berusaha menjelaskan. Membuat Laras menangis adalah sebuah kesalahan. Kamu terdiam di luar. Atau mungkin jika aku bisa mendengar lebih tajam, dadamu pasti bergemuruh hebat.

Dan terdengarlah riuh di luar pintu kamar.

Laras tidak pernah sependapat. Kamu malah menghindari debat. Aku tidak pernah melihat sehebat itu Laras berteriak dalam lambaian marah, yang kutahu kamu hanya diam. Karena jauh dalam dirimu, kamu tahu kamulah yang salah. Perasaan memang sangat rumit. Sangat.

Laras pun meraih kunci mobil di atas meja dan mengendarai mobil Corolla tuaku dari garasi ke suatu tempat, entah ke mana. Aku tak sempat menanyakannya karena Laras dengan cepat menghilang.

Jika perputaran waktu bisa diputar, aku ingin mengulang pada masa di mana Laras mengenalkanku padamu. Menurutku, di masa itulah, waktu salah memutarkan skenario sang takdir. Seharusnya hanya Laras yang kucintai.

Semalaman aku menghubungi Laras, tetapi tak ada balasan apapun. Sekalipun saat kutelpon ia mengangkat, hanya terdengar isakan lalu hilang. Mendengarnya serasa anak panah menghunjam dadaku dari markas bernama kehilangan. Sedang busur penyesalan berhasil melontarkannya tepat sasaran.

Aku tak menyangka hal seperti ini terjadi. Bahkan, tak sedikit pun aku bisa mengerti mengapa aku bisa mencintaimu, Sari. Di saat aku menumpahkan semua perasaan itu-menurutku-, pada Laras.

Satu jam kuhubungi lagi, tak diangkat. Kamu panik. Kita panik. Kamu mengulangi apa yang sudah kulakukan dan hasilnya memang nihil. Hujan pun turun di luar san dan terus menderas. Tidak ada yang baik-baik saja selama hujan terus menderas. Aku tidak ingin membayangkan sesuatu. Aku hanya ingin Laras mengangkat telepon dan kemudian kami akan bicara baik-baik.

Hingga akhirnya dua jam kemudian, seseorang mengetuk pintu rumah. Lelaki bertubuh gempal, berkumis tipit, mengenakan jaket kuning, namun di dalamnya aku bisa melihat seragam abu-abu. Dia memberikan sebuah plastik berisi dompet dan kartu SIM.

Dia bilang menemukan benda ini bersama tubuh seorang wanita di dalam kerangka mobil Corolla yang membangkai setelah terseret dua puluh meter oleh truk. Diduga hendak memotong jalan. Dia mengatakan pemilik SIM itu bernama Laras dan alamat yang tertera menuju ke rumah ini.

Rasanya tak terkata-kata. Serupa tombak menusuk dada dan menembusnya. Sakit tak terkira. Aku tahu ini bohong. Tidak mungkin. Sementara kamu menutup mulutmu dengan telapak tangan, berusaha menahan dirimu dari teriakan yang dalam. Waktu dan takdir begitu jahat.

Hujan turun di mataku. Sekalipun aku lelaki, berita ini membuatku rasanya ingin mengikuti Laras pergi.

Dan Laras takkan kembali.

Kamu pun meraung menyesali semua kejadian hari ini.

Aku yakin, hari esok takkan pernah sama lagi. Tuhan, bolehkan aku pergi ke langit sekarang?

***

Sesal MuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang