Part 7 - Bhinneka Tunggal Ika

6.7K 840 85
                                    

Hari ini adalah hari Minggu, hari yang ditunggu-tunggu. Hari ini Kirana berkumpul bersama keluarga besar ayahnya dalam acara arisan keluarga. Arisan yang kali ini bertempat di kediaman keluarga Ariobimo seperti biasa dihadiri banyak kerabat. Tidak hanya om dan tante dari Andre, tetapi juga para anak, menantu, hingga cucu.

"Ta Tita," panggil Kirana kepada Keisha yang sedang asyik bermain balon yang terbuat dari gelembung yang ditiup bersama para sepupu lainnya.

Keisha hanya menoleh lalu kembali meneruskan acara bermainnya. Sebagai cucu paling kecil, Kirana memang tidak memiliki saudara yang berusia sebaya.

"Ta Tita," kembali Kirana memanggil Keisha. Artinya Kak Keisha.

"Habisin dulu makannya Kirana, baru nanti kita main sama-sama," sahut Keisha.

"Bis nanan, Bubutu."

"Iya, habisin dulu makannya baru nanti main sama-sama," sahut Kendra.

Kendra sedang menyuapi Kirana makan siang di teras samping dengan menu nasi tim, sayur rebus, dan pepes tahu keju. Kirana sangat suka makan keju. Setiap makanan kalau bisa dimakan bersama keju. Bahkan kadang jika Kirana sedang sulit makan, Kendra cukup memberikan parutan keju di atas nasi tim, niscaya Kirana langsung berselera.

"Gigi, Bubutu," ujar Kirana sambil menunjuk pepes tahu.

"Kakak suka pepes tahu?"

"Tuta."

"Kalau gitu habisin, ya."

Selesai menghabiskan makan siangnya, Kirana bergabung bersama Keisha dan saudara-saudara lainnya. Ia berlari gembira mengejar setiap balon gelembung yang berterbangan di udara. Kendra sampai hawatir Kirana muntah karena ia berlari ke sana ke sini saat perutnya penuh terisi.

"Ayon, Bubutu!" Kirana berseru.

"Kirana suka balon?" tanya Keisha.

"Tuta!" seru Kirana.

Keisha dan sepupu-sepupu Kirana kemudian menghujani Kirana dengan balon gelembung dari segala arah. Sebagai sepupu paling kecil, Kirana memang dimanja oleh para sepupunya.

"Sudah habis balonnya, Kirana," seru Keisha. "Kita main yang lain aja yuk."

Keisha dan sepupu-sepupu lainnya masuk ke dalam rumah dan berkumpul di ruang tengah. Keisha dan anak-anak lainnya rupanya membawa banyak mainan.

"Eh ini rupanya istrinya Andre," ujar sebuah suara.

Kendra menoleh. Seorang perempuan berusia paruh baya melangkah mendekatinya dengan senyum merekah.

"Eh, ada Puang rupanya," sapa Kendra.

Mereka berpelukan. Puang Rosma adalah kakak ipar Pak Ariobimo. Beliau masih keturunan bangsawan Bugis, karena itulah beliau disebut Puang. Puang Rosma dan suaminya tinggal di Makassar. Saat ini mereka sedang berada di Jakarta sehingga dapat menghadiri acara arisan keluarga.

Seperti layaknya orang asli Makassar, Puang Rosma berbicara dengan suara keras dan logat Makassar yang sangat kental. Puang Rosma banyak menggunakan kata 'to' seperti orang Makassar pada umumnya. Hal ini rupanya terdengar menakutkan di telinga kecil Kirana karena sehari-hari ia bergaul dengan orang-orang yang berbicara dengan suara lembut, termasuk ayahnya.

"Eh, Andre, cantiknya kau punya anak. Sudah besarnya itu Kirana. Ke siniki, Puang sudah kangen ini e."

"Ayo kasih salam dulu ke Puang." Andre bermaksud mengangkat tubuh Kirana tapi gadis kecil itu menolak.

"Tak, tak," Kirana menolak.

"Lho, itu salam dulu sama Puang, Nak," Kendra ikut membujuk Kirana.

"Tak, tak," Kirana tetap menolak.

"Eh, janganki sombong-sombong, Kirana cantik to." Puang Rosma melangkah mendekati Kirana.

Kirana mundur selangkah.

"Sini, gendong Puang dulu e."

"No, no," ujar Kirana sambil menggerak-gerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri.

Kendra selalu berkata 'no' jika melarang Kirana melakukan sesuatu. Rupanya hari ini Kirana menirukan kata-kata ibunya. Ia melarang Puang Rosma mendekatinya. Kendra hampir saja tertawa tetapi ditahannya. Bisa-bisanya Kirana melarang Puang Rosma yang notabene adalah neneknya untuk mendekatinya.

"Eh, kenapa ndak mau? Puang juga ndak kalah cantik sama ibumu to?"

"No, no." Kirana menggelengkan kepala. Mungkin cara berbicara Puang Rosma yang terdengar asing di telinga memang menakutkan untuk Kirana.

"Eh, ndak bolehki sombong begitu. Kirana anak baik to?"

"Bubutu," panggil Kirana seolah hendak meminta tolong kepada sang ibu.

Kendra menggendong Kirana sambil tertawa.

"Maaf, Puang. Kirana nggak kenal sama Puang. Ayo kenalan dulu, Nak."

"Tak, tak," Kirana masih menolak.

"Ya sudahmi, ndak mau kupaksa, menangis dia nanti," ujar Puang Rosma mengalah.

Sepanjang hari itu dilewati dengan penuh canda dan tawa. Apalagi Puang Rosma punya banyak stok guyonan yang mengundang tawa dan menghangatkan suasana.

Anak-anak yang lain sibuk bermain dan menghabiskan banyak jajanan. Tetapi tidak dengan Kirana, ia hanya diam memperhatikan dan tidak mau lepas dari gendongan ibunya. Ia hanya terus melihat ke arah Puang Rosma yang tak berhenti berbicara dan tertawa dengan logat Makassarnya.

*****

"Nah, udah wangi nih anak ayah," ujar Andre setelah selesai mengoleskan minyak telon ke perut, dada, dan punggung Kirana.

Setiap akan tidur memang Kirana mengenakan minyak telon di perut, dada, dan punggungnya. Selain wangi, minyak telon juga membantu tubuh Kirana tetap hangat saat terlelap.

"Kakak mau dibacakan cerita apa? Kancil dan buaya mau?"

"Ya, ya." Kirana menganggukkan kepala.

Maka Andre mulai membacakan dongeng untuk Kirana, tentang seekor kancil yang ingin menyeberang sungai yang penuh dengan buaya. Kirana mendengarkan sambil berbaring dan menggerak-gerakan tangannya.

"Anak ibu lagi dibacain dongeng apa sama ayah?" tanya Kendra yang baru saja selesai mencuci muka dan menggosok gigi.

Kirana langsung mengubah posisi dari tidur menjadi duduk. Ia menatap ibunya dengan mata berbinar.

"Ncil to, aya to."

Andre dan Kendra berpandangan. Kenapa gaya bicara Kirana jadi berubah?

"Ngomong apa, Nak?" tanya Kendra.

"Bubutu to," ujar Kirana sambil menunjuk ibunya. "Tatatu to." Kali ini Kirana menunjuk ayahnya.

Andre dan Kendra tertawa. Sejak hari itu, selama beberapa hari Kirana berbicara layaknya Puang Rosma. Ia menambahan kata 'to' di setiap kata yang diucapkannya. Bubuto to, tatatu to, tatak nana to, nanan to, nganga to, aya to, dan lain-lain.

Anak batita seperti Kirana memang sedang berada pada masa 'golden age'. Ia menyerap dengan cepat setiap kata yang terucap dan setiap hal yang ia lihat. Itulah sebabnya Kendra memutuskan untuk mengasuh sendiri Kirana sesuai permintaan Andre kepadanya. Ia ingin memastikan bahwa setiap hal yang diserap oleh Kirana, baik atau buruknya, senantiasa dalam jangkauan dan pengawasannya.

Contohnya seperti Kirana dan Puang Rosma. Hanya dengan mendengarkan Puang Rosma berbicara selama beberapa jam, sudah mampu membuat Kirana mendadak menjadi orang Makassar. Bulan lalu Kirana sempat gemar menggucapkan kata 'atuh' setelah berkunjung ke rumah paman dari Kendra yang orang Sunda. Nanan atuh, nunum atuh, didi atuh, gigi atuh, dan lain-lain.

Mungkin besok-besok jika Kirana bertemu dengan saudara yang berasal dari Medan atau dari Yogyakarta, berganti pula gaya bicaranya. Kirana memang cocok menjadi duta Bhinneka Tunggal Ika.

*****
😺😽😻

Ketika Kakak Kehilangan KucingnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang