Night Changes

10 0 0
                                    


Lembar enam

-*-

Aku mengalihkan pandanganku ke jendela kamar Key. Bingung apa yang harus aku lakukan sekarang. Dan tanpa sadar, Key daritadi ternyata sudah menjengukkan kepalanya untuk membaca pesan Braga di layar ponselku.

"Ya elah, keluar aja lagi Bri," katanya tiba-tiba saat aku masih melamun menatap jendela.

"Ha? apanya? Shit! Lo baca pesan di hape gue ya?!"

"Calm, calm, calm. Gue gak liat, layarnya aja yang manggil-manggil dari tadi."

"Fuck!"

"Udah deh, mending lo liat dulu Bri. Kasian loh, dia udah dateng jauh-jauh ke sini. Urusannya gak bakal selesai kalo kalian nggak saling ketemu."

Key benar. Mungkin sebaiknya aku lihat dulu dari sini, memastikan apa yang sebenarnya dia mau. "Oke, oke," jawabku sambil turun dari kasur.

Aku berjalan gontai menuju pintu kaca berkusen kayu di sana, lalu menyingkap tirainya sebelum membuka lebar-lebar pintu kecil yang menghubungkan kamar Key dengan balkon sederhana di depan pintu ini. Kamar aku juga ada balkonnya kok, kalau kamar Dad dan Ibu sih di lantai bawah jadi tak ada balkon di sana.

Aku sedikit terkejut ketika mendapati Braga sudah berdiri di bawah sana dari tadi. Maksudku bukan terkejut karena dia bisa sampai masuk ke perkarangan rumahku yang padahal jam segini sudah dikunci Dad—itu karena aku sudah mengajarinya untuk lewat pagar semak yang membatasi antara rumahku dengan rumah Bang Nandra di sebelah. Aku juga tidaklah terkejut karena dia sudah berdiri di sana dengan gaya klasik remaja-remaja yang ingin meminta maaf, maksudku, ayolah, siapa yang masih mau minta maaf dengan cara bernyanyi di halaman rumah orang, dan orang yang sedang ingin dimintai maaf berdiri menunggu di balkon kamarnya seperti saat ini. Aku tau itu akan terjadi karena itu sudah pernah terjadi beberapa kali, dan aku hapal itu. Lagipula, lihat saja gitar yang tegantung di depan Braga. That's so cliché.

Tapi aku terkejut karena—

"Bri. Gue tau gue salah, dan gue minta maaf untuk itu," Braga berusaha menjaga volume suaranya agar tak terdengar oleh Dad. "Gue bukannya bermaksud salah ngasih cincin yang lo pengen, tapi gue bener-bener lupa." Dan sudah kuduga. "Seperti saat ini, kamu berdiri di atas sana, mencengkram erat besi itu, dan aku di bawah sini berusaha mengatakan bahwa ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain akan terbuka. Tetapi sering kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan."

Aku semakin kuat mencengkram besi pagar balkon. Rasa kesal, sedih, marah, dan bahagia karena Braga mau mengakui kesalahannya bercampur menjadi satu. Aku tahu dia anak Bahasa, tapi kenapa kata-katanya kali ini membuat aku merasa aneh. Kau tahu, seperti orang paling bodoh di sini.

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku dingin.

"Aku mau minta maaf, Bri."

"Bukan. Maksud aku, ngapain kamu stay di sini? Ini kan kamar Key, dan kamar aku ada di sana," aku menunjuk ke kiri, menunjuk kamarku yang memang dari luar terlihat sama dengan kamar Key.

"Eh?" Braga menggaruk-garuk tengguknya yang aku yakin pasti tidak gatal sama sekali. "Gue punya insting kalo lo lagi di kamar Key."

"Alasan."

"Apa? Kayak ada yang nyebut nama gue," Key muncul dari belakangku tiba-tiba sambil mengunyah dan memeluk setoples kripik pisang, serta mengabaikan remah-remahnya yang mengotori lantai dan mulutnya. Dia jorok sekali.

"Gak ada yang nyebut nama lo. Sana, sana, sana," aku mendorongnya kembali masuk ke kamar, kemudian dengan cepat menutup pintu dan menguncinya dari luar.

Little Story of Brian and KeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang