Face The Truth

10 0 0
                                    

Lembar tujuh

-*-

Dan pagi ini ternyata sama saja dengan kemarin, aku susah banget buat dibangunin. Bahkan Ibu mesti teriak-teriak di kuping aku gara-gara aku gak bangun-bangun juga, dan akhirnya aku disiram sama air dingin dari kulkas. Ibu bener-bener jahat deh sama aku.

Terus Ibu ngoceh-ngoceh selama aku mandi, dan baru selesai lalu keluar kamar saat aku bilang aku mau pakai baju. Honestly, aku masih ngantuk. Semua ini gara-gara aku estafet nonton Paper Towns, The Fault in Our Stars, Begin Again, dan ditutup sama The Perks of Being a Wallflower. Sumpah deh, semua film itu bikin aku haru biru hari ini. Apa lagi film yang terakhir, aku tonton dari jam dua sampai jam empatan itu ngebuat aku jadi inget sama Brian, soalnya dia itu kayak Patrick sedangkan aku kayak Sam yang diperanin oleh Emma Watson di film The Perks of Being a Wallflower. Tapi aku gak selabil Sam, ya! Dan Brian—mungkin—gak semenyedihkan Patrick yang gak diakui hubungannya dengan Brad si bajingan.

Terkutuklah Juju yang udah ngebuat aku begadang dan mengantuk kayak begini. Belum lagi, hampir semua cerita itu sad ending, bikin aku mewek berkali-kali sampai tisu di kamar habis. Sekarang aja rasanya aku masih pengen nangis pas inget betapa kuatnya Gretta pas dihianati Dave yang juga si bajingan.

Eh, tapi kapan-kapan aku mau deh potong rambut kayak Emma Watson pas meranin Sam. Mungkin aku bakalan keliatan lebih anggun dan fresh, ya sekali-sekali ganti gaya rambut kan boleh. Lagian aku juga rada ribet kalau rambut aku panjang kayak gini.

Hm, actually, aku gak terlalu suka nonton sih. Brian dan Ibu yang suka nonton. Kalau aku sih samaan kayak Dad, kami jarang banget nonton, karena kami lebih suka adventure, udah aku certain, kan? Tapi nanti aku mau say thanks ah ke Juju karena udah recommended-in film-film kayak gitu. Jadi ngebuat aku tambah kuat dalam menghadapi hidup yang keras ini, soalnya cantik dan jago bela diri aja gak cukup buat jadi cewek yang tangguh luar dalem—itu aku kutip dari kata-kata Grandmoom dulu sebelum dia meninggal pas umur aku delapan tahun.

"Key...! Kapan kamu mau turun, ha?!" teriakan Ibu ngebuat aku lebih cepet masang seragam. Setelah berdandan dan berisisir alakadarnya, aku segera turun dan sedikit terkejut ketika melihat Brian masih duduk di meja makan dengan roti di atas piringnya yang bersisa setengah. Dia pasti nggak ngehabisin lagi makanannya, as usual.

Aku menarik kursi dan duduk di sebelah Brian, meminum susu coklatku sambil menunggu Ibu selesai mengolesi rotiku dengan selai strawberry kesukaanku. "Hoaaahmmm..." aku menguap sekali dan menjatuhkan kepalaku ke atas meja.

"Kamu begadang, ya?" tanya Ibu, dan aku hanya mengagguk. "Sudah tau besoknya sekolah, masih aja begadang. Kamu begadang ngapain? Latihan silat di kamar?" Ibu melanjutkan ocehannya sambil menarik piring di dekatku dan meletakkan roti di sana, kemudian menyodorkannya lagi ke arahku.

Aku mengangkat kepalaku dengan malas. "Aku itu atlet taekwondo Bu, bukan silat. Ada perbedaan maha besar antara dua hal itu!" aku mulai memakan sarapanku.

"Ya, yang penting kan sama-sama pukul-pukulan. Ibu gak peduli apa namanya."

Aku putar bola mata aja ke Ibu sambil terus ngunyah. "Lo kok belum berangkat, sih? Tumben," aku menghadap ke Brian di sebelahku sebentar lalu kembali fokus pada rotiku.

"Gue cuma pengen barengan aja. Udah lama juga kita gak berangkat bareng, secara kan lo telat mulu bangunnya."

"Gue gak mau ya ngehabisin lima belas menit gue di jalan dengan dengerin cerita lo yang gak penting buat gue sama sekali," aku menyeruput lagi susu coklatku.

"Tenang gue gak bakalan ngoceh-ngoceh gak jelas kok," jawab Brian.

"Bagus."

"Palingan gue cuma mau curhat tentang semalem."

Little Story of Brian and KeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang