0.2

21 3 0
                                    

Aku mempercepat langkahku, untuk sampai di pintu gerbang sekolahku dengan tepat waktu. Bayangkan saja, ini baru semester awal, aku sudah telat dua hari berturut-turut, poinku saja sudah berkurang sepuluh. Ah, Neptunus.

"Telat mulu lo." bisik seseorang yang duduk di belakangku, Ilham.

"Iya, kelamaan liburan jadi gue kesiangan mulu."
"Yaudah, makanya besok berangkat bareng gue aja!"
"Itu kenapa yang di belakang bisik-bisik? Mau di kurangin poinnya?" Deg! pelajaran pertamaku hari ini adalah Bahasa Indonesia yang diajar oleh Ibu Norma yang galaknya melebihi guru killer yang ada di sekolahmu. Berisik sedikit saja ketika Sang Guru sedang menerangkan materi, akan di minta buku tata tertibmu dan di kurangi poinmu. Dasar pencuri poin! Tapi, terimakasih, Bu, engkau menyelamatkanku untuk tidak bersusah payah memikirkan apa jawaban yang pantas aku lontarkan untuk Ilham tadi.

"Ngg-gak bu, ini tadi saya pinjem pulpen ke Darin." balas Ilham.
"Hahaha. Mam?pus." kataku mengejek.

///

"Dar, tadi gue liat Ilham ngajakin Alifa ke kantin, terus di tolak mentah mentah sama Alifa, pasti lo ketawa kalo liat. Tapi emang bener, sih. Ilham tampangnya lumayan juga, diatas rata-rata gitu."
"Dari kemaren dia ngajakin gue pulang bareng mulu, sumpah. Kesel."
"Terus lo terima?" tanyanya dengan membulatkan mata sok-terkejut.

"Ya enggak, lah. Nanti tiba-tiba gue di bawa kabur sama dia gimana."
"Ih, bukan bego bukan oon, tapi goblok. Terima aja, sih! Kan lumayan tuh tampangnya. Duitnya juga lumayan. Hahaha."
"Nin, baru juga kenal dua hari. Najis, matre lo ah."

"Hai." suara lembut, yang sepertinya kukenal. Yah, itu dia Alifa.
"Boleh join, nggak?" lanjutnya.
"Eh, Lif, tumben nggak bareng yang lain?"
"Iya, Nin. Pada sibuk ngurusin tugas dari Bu Norma tadi. Kalian udah selesai?"
"Udah." jawabku dan Nina serempak.
"Pulang sekolah nanti, ke Mokko café, yuk? Jalan kaki aja, deket kok."
"Yu–." aku langsung menginjak kaki Nina.

"Nggak ah, Lif. Kayanya gue sama Nina mau kerja kelompok deh di rumah gue. Sorry, ya." Maaf, Alifa. Bukannya aku tidak suka atau membencimu, entah kenapa tiba-tiba aku melontarkan kata-kata itu.

"Eh, Dar!" pekik Ilham sambil memukul meja kantin dengan kencang, sampai semua yang ada di kantin menatap kami, seakan sedang mau memberi suatu informasi penting.
"Apa, sih?! Bikin kaget aja. Tuh liat, jadi sumber tatapan orang-orang kan, apa lagi banyak agit disini. Bisa abis lo diomongin." agit atau 'tiga' adalah sebutan untuk kelas dua belas di sekolah ini.

"Yaudah, iya sorry. Gue sama lo sekelompok ya, pelajaran Sosiologi, disuruh wawancarain remaja pergaulan bebas."
"Hah? Beneran? Kok nggak di kasih tau sama Pak Iqbal pas pelajaran?"
"Iya, doi lupa ngasih tau, jadi tadi gue dipangggil ke mejanya buat ngasih tau ginian. Udah ah, haus gue. Btw, hai Alifa." katanya lagi sambil memperagakan dirinya yang—menurutku sok—capek, ngos-ngosan karna berlari dari kantor guru ke kantin. Dan sedikit cengiran yang ia tumpahkan di depan Alifa. Cih, genit.

Entah kenapa aku kesal kalau Ilham mendekati Alifa. Bukan, bukan cemburu. Ya kali seorang Darin, perempuan berambut lurus yang mengembang sedikit kecokelatan, tidak berponi, bisa cemburu sama cowok kaya gitu!

"Dar, tadi di cari Ilham. Gue bilang lo di kantin. Ketemu nggak?"
"Iya, Kar. Tadi udah ketemu."

Jadi, tadi Ilham ke kelas dulu untuk mencariku? Tapi buat apa coba? Toh dia bisa memberitahu soal satu kelompok itu di kelas. Dasar aneh.

Bel berbunyi pertanda istirahat kedua telah selesai. Kulihat Ilham memasuki kelas dengan wajah emosi dan sedikit luka di keningnya, rambut acak-acakan, dan bajunya yang kotor.

"Ham, kenapa? Jatoh?" kataku menahan tawa.
"Di hajar tadi gue sama anak kelas sebelas ipa empat. Kurang ajar banget harusnya gue yang marah malah dia yang ngegas duluan!" jawabnya emosi dengan wajah memerah, sambil mengepalkan tangan diatas meja seakan ingin memukul mejanya sampai hancur. Tak sadar, teman-teman di kelas ini mengerubungiku dan ilham.

"Hah? Emangnya dia ngapain?"
"Tadi gue lagi jalan mau balik ke kelas, tiba-tiba dia datengin gue sama Rifqi malakin nggak jelas. Ya nggak mau lah uang gue di kuras sama bocah begituan. Itu uang buat rokok atau narkoba kali? Dikira dia gue takut, dia nonjok gue ya gue tonjok balik."

"Siapa namanya?"
"Alvian." oh, Alvian? memang dia anaknya sensi sekali. Seperti perempuan yang sedang pms, senggol dikit bacok. Kebetulan dia kakak kelasku dulu di SMP. Dengan kepribadiannya yang aneh, sedikit-sedikit emosi.

"Oh, terus lo gapapa?"
"Ya gapapa. Tapi kesel aja gue."
"Mending lo ke UKS aja, cari obat merah."
"Iya, Dar. Nanti aja lah, tanggung bentar lagi pulang."
"Yaudah."

///

"Dar, tadi lo tumben banget perhatian gitu ke Ilham. Biasanya jual mahal banget lo ke dia. Mulai suka lo, Dar? Hahaha." tanya Nina di sebelahku sambil berjalan keluar gerbang dengan tujuan yang sama; pulang ke rumah.
"Heh? Ngawur! Udah ah gue mau pulang."

Tidak, aku tidak pulang ke rumah. Aku pergi ke Mokko café yang tadi Alifa bicarakan. Yah, aku sering ke café ini sejak SMP, tempat yang cocok untuk memikirkan segala macam hal, tempat yang cocok untuk menyendiri, tempat yang cocok untuk membaca novel dengan tenang, tempat yang cocok untuk......

"Darin?" pun aku langsung mendongak, Neptunus. Kenapa Ilham bisa tahu aku ada disini?

"I–iya?"
"Boleh duduk sini nggak?" kebetulan meja yang kududuki ada di pojok, dengan dua kursi diantara meja berbentuk bundar.

"Bo–leh." kataku sambil—sedikit—mengangguk, dengan perasaan bimbang antara iya dan tidak.
"Luka lo yang tadi ribut sama Alvian, udah gapapa?" lanjutku.
"Gapapa tadi gue ketemu Alifa di UKS terus dia yang ngobatin. Hehehe." balasnya dengan cengiran. Yang sedikit membuat hatiku terasa tidak enak. Apa-apaan?

"Oh."
"Lo nggak pesen apa apa?"
"Tadi u–"
"Yaudah gue aja yang pesen. Lo mau apa? Mau nyobain milkshake-nya café ini nggak? Pasti lo belom pernah ngerasain kan, pasti baru pertama kali deh ke café ini."
"Eng–"
"Udah diem, gue aja yang pesenin." segera ia bangkit lalu pergi untuk memesan milkshake. Dia tuh, sok tahu sekali! Neptunus. Omonganku tadi belum selesai, tapi sudah di potong saja. Dia kira omonganku ini kertas yang bisa di potong-potong sesuka hati? Ah. Aku memasang muka bete ketika dia kembali ke mejaku—ralat, meja kami.

"Ih! Kenapa tuh muka? Bibir maju kaya bebek. Jangan gitu kenapa. Cantiknya jadi ilang."

Ah, apasih. Genit.

"Abisnya omongan gue di potong mulu! Nih denger ya, gue udah sering ke café ini, gue juga udah ngerasain bermacam minuman di café ini. Lo kali yang baru ke sini. Gue sih udah dari jaman SMP."
"Dari jaman SMP? Lah? Gue juga! Pantesan waktu gue liat lo pertama kali kaya familiar gitu muka lo. Jadi nama lo Darin? Yang waktu itu sengaja atau nggak sengaja nabrak gue terus teh anget lo tumpah ke baju gue sampe kulit gue melepuh? Inget nggak tuh? Yang lo minta maaf sampe pake muka mau nangis kaya bersalah banget, ya emang sih salah banget lo, gila." hah? Serius? Ya memang aku pernah tidak sengaja menabrak orang di café ini sesuai dengan cerita Ilham tadi, aku ingat. Tapi aku tidak ingat dengan wajahnya karna aku sangat malu waktu itu! Untuk melihat wajahnya saja aku tidak berani. Astaga, Neptunus.

"Akhirnya gue ketemu juga sama nih orang. Ngomong-ngomong gue masih belum maafin lo nih. Itu teh yang dulu lo bawa bukan anget, tapi panas sumpah. Masih ada bekas melepuh nih di perut gue. Jadi besok lo gue anter pulang ya sebagai bayarannya, gitu."
"Ha–hah?"

Ham, kenapa sih lo mau banget nganterin gue pulang.

—————

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang