0.3

24 3 0
                                    

"Darin, kamu mau ke perpus?" pekik seseorang dengan tiba-tiba yang membuatku berhenti melangkah di koridor sekolah.
"Iya, Lif. Kenapa?"
"Bareng, dong?" katanya lagi dengan sedikit berjalan cepat menghampiriku.

"Oh iya, boleh."
"Kok kamu nggak sama Nina?"
"Iya, Nina ada les jadi harus pulang cepet."
"Oh." setelah itu, sepi menghantui kami. Tidak ada bahan topik untuk dibicarakan.

"Hm, kamu suka sama Ilham?" sontak aku membulatkan mataku sebagai simbol aku terkejut, iya terkejut. Lif, kayaknya kamu salah milih topik deh. Buat apa Alifa tiba-tiba nanya kaya gitu ke aku? Emangnya aku kelihatan menyukai Ilham?

"Hah? Enggak, lah! Emang kenapa, Lif? Lo suka?"
"Enggak sih. Tapi keliatannya Ilham kaya suka sama kamu."
"Loh, dia aja deketin kamu terus." Alifa tidak menjawab. Hanya berjalan di sampingku sambil menatap lurus kedepan. Kenapa, sih? Alifa suka sama Ilham? Ilham berlagak menyukaiku? Aku menyukai Ilham? Ah! Segera aku mengusir pikiran-pikiran aneh itu.

Bertepatan dengan itu, kami sampai di perpustakaan dengan banyak meja dan kursi, ada juga beberapa komputer yang sedang dipakai para murid untuk mengerjakan tugas—mungkin. Aku dan Alifa berpisah mencari buku yang masing-masing kami cari.

"Darin!" bisikan namun memekik dari Ilham yang mengejutkanku ketika aku sedang memilah-milah buku.
"Apa?! Ih lo tuh sukanya bikin orang jantungan ya, Ham."
"Hehe sorry. Mau pulang bareng gue nggak? Gue cariin lo kemana mana daritadi, kalo di tolak sakit nih." katanya lagi dengan cengiran di awal.

"Nggak ah. Rumah gue jauh dari rumah lo. Kasian nanti bolak balik. Ngabis-ngabisin bensin motor lo."
"Eh! Buset. Rumah sebelahan beda dua rumah juga dibilang jauh. Dasar bego." dengan mendengar kata 'bego' sontak aku memukul lengannya dengan buku yang sudah kupilih tadi.

"Ah, ayolah pulang bareng gue." ajaknya lagi sambil mengusap-usap lengannya yang aku pukul tadi.
"Emang kenapa sih mau banget nganterin gue pulang dari awal ketemu?"
"Karna gue mau temenan sama lo. Hehehe."

Temenan ya, Ham?

///

"Darin, tadi pulang sama siapa?" sambut Bundaku ketika aku telah selesai mandi.
"Sama Ilham, Bun."
"Siapa tuh? Pacar lo ya? Hahaha." sahut Ataya—adikku—yang sedang duduk di sofa seenaknya sambil menggenggam PSP miliknya.

"Ngawur aja lo!" pekikku sedikit kesal.
"Cuma dua bersaudara kok berantem terus. Udah sana Ataya belajar jangan main game mulu!"
"Iya, bunda." jawabnya dengan pasrah sambil menaruh PSP-nya itu di sembarang tempat. Aku mendekatinya dan berbisik 'mampus lo' tepat di dekat telinganya.

"Darin, ada tugas atau ulangan nggak besok?"
"Nggak, yah. Lagian baru juga masuk masa udah di sambut aja sama ulangan-ulangan."
"Yaudah, nanti kalo ada tugas atau ulangan matematika, bilang Ayah ya."
"Siap, bos!"
"Udah sana naik ke kamar, belajar. Jangan nonton tv melulu." kata bundaku yang datang lalu merebut remote tv.
"Iya, bundaku."

"Dariiiiiiin, ini hp lo ada di kamar gue bunyi mulu, berisik." adikku–lagi–yang memekik dari kamarnya yang tepat berada di sebelah kamarku.

"Kok bisa ada di kamar lo sih."
"Tadi kan lo nyari buku tulis kosong di kamar gue. Nih!"

2 Missed Call

Loh tumben, ini siapa?

Drrrt.. Drrrt..

"Halo?"
"Dar, keluar deh bentar."
"Hah? Ini siapa?"
"Ilham ih, cepet keluar. Gue udah di pager lo."
"Yaudah iya bentar tunggu."

Aku langsung mencari jaketku dan memakainya dengan waktu sesingkat mungkin, berlari menuruni tangga, hingga sampai di teras rumah. Benar, Ilham yang sedang duduk di sepedanya sambil nyengir atau lebih tepatnya cenge-ngesan dengan boxer hitam dan kaus putihnya.

"Kenapa?" kataku ketus.
"Galak banget dah. Senyum dong." Ya Tuhan.
"Ada apa, Ilham?"
"Ralat, Ilham Sang ketua kelas."
"Yaudah. Ada apa, Ilham Sang ketua kelas?"
"Tambahin dong. Yang ganteng, pinter, teladan, nggak suka telat."
"Itu yang terakhir ada unsur menyindir gitu ya, Ham? Cepetan mau ngasih tau apa?"
"Nih, besok pagi jangan telat, bangun jangan kesiangan, gue anter ke sekolah. Kalo kesiangan gue tinggal."
"Yaudah gapapa tinggal aja, kan bisa dianter Ayah gue."
"Iya iya, gue tungguin deh! Tapi janji jangan kesiangan bangunnya. Pasang alarm jam lima!"
"Kesambet apa lo tiba tiba mau nganterin gue?"
"Daripada jok belakang gue kosong, kan sayang. Nggak ada yang nempatin. Biar yang nempatin lo doang, Dar." Hmm, itu maksudnya apa ya?

"Iya deh iya. Terus? Apa lagi?"
"Udah, itu aja. Hehehe." katanya lagi dengan cengiran bodohnya—lagi.
"Sumpah? Nggak guna banget lo dasar ngerjain orang. Kan bisa ngomong lewat telfon aja tadi. Ih, astaga."
"Udah sana tidur! Awas kesiangan."
"Ham, baru jam tujuh malem, ngomong-ngomong."
"Terus? Maksudnya apa?"
"Ngasih tau doa–"
"Oh, ngerti-ngerti. Mau gue ajak keliling komplek?"
"Nggak. Mending gue tidur." kataku sambil beranjak pergi.
"Baru jam tujuh, Dar!" pekiknya. Tak peduli, aku tetap berjalan masuk kerumahku.
"Yah, yaudah deh. Selamat malam, Nona Hujan."

Itu cukup membuatku sedikit kesal dan membuat kupu-kupu di perutku HAMPIR berterbangan. Dan aku lupa, tadi, harusnya aku bertanya darimana dia mendapatkan nomor ponselku? Oh bagus, sangat bagus.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang