Kini kumulai hari-hariku bersama Nando. Memang sangat singkat rasanya perkenalan dan pertemuan ini, namun entah mengapa hatiku seperti enggan untuk menolak perasaannya, aku takut aku akan mengecewakan diriku sendiri bila aku menolaknya. Aku mencintainya. Tak tahu apakah ini cinta monyet ataukah cinta sejati. Namun aku tak dapat mengelak perdebatan hati dan pikiranku bahwa aku benar-benar menginginkannya.
"Hari ini aku mau ngajak kamu jalan. Kamu bisa gak? " Tanya Nando ketika kami makan siang bersama di kantin. Kami tidak hanya berdua, karena dia juga membawa seorang teman sekelasnya, Martin, dan aku membawa Renata.
"Ya, aku bisa."
"Gue ikut dong, Rin. " potong Renata
"Loh bukannya lo udah punya rencana jalan sama gebetan lo Re? "
Kualihkan bujukan Renata untuk ikut bersama kami. Aku takut suasana akan menjadi canggung ketika aku harus membawanya."Ih lo mah Rin, pelit amat. Yaudah deh yang lagi pada kasmaran. " bibir Renata dimanyunkan.
Aku pergi bersama Nando ke sebuah kafe yang tak terlalu jauh dari sekolah.
"Rin, cita-cita kamu apa sih? "
"Dosen, kalo kamu? "
"Aku pengen banget kerja untuk negara, misalnya politik"
"Wah hebat, berarti harus giat dong belajarnya. "
"Dan rencananya... "
Nando menggenggam tanganku, dia menatap mataku lekat-lekat. Matanya seperti menuangkan harapan yang tak dapat kuuraikan. Semakin lama, genggamannya semakin keras.
"Do, kamu kenapa? "
"Berat rasanya jauh dari kamu, meskipun kita baru saja memulai. Dan hari ini aku akan menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tak bisa untuk kusampaikan. "
"Ayo, katakanlah. " kusambut genggaman Nando cukup lembut, untuk memastikan semua akan baik-baik saja.
"Aku berencana melanjutkan kuliah di luar kota. Apakah kamu keberatan? "
Baru saja memulai, namun rasanya seperti akan berakhir. Mengapa pertanyaan Nando begitu berat dan menyiksa. Di satu hal, dia memang harus mengejar cita-citanya, apalagi dia anak sulung di keluarganya. Di lain hal, mengapa waktu begitu cepat memisahkan jarak diantara kami. Aku bahkan tak yakin bisa menjalaninya. Perbedaan kota, provinsi, dan pulau membuatku menimang-nimang bagaimana kelanjutannya. Bahkan aku juga belum pernah merasakan di posisi itu. Sangat tidak mungkin aku bisa melewatinya.
"Aku tau pasti kamu berat untuk menjawab. Tapi aku percaya setiap orang diciptakan oleh sang Pencipta dengan harapan dan angan yang berbeda-berbeda, dan aku yakin, kamu bakal selalu dukung aku. Lagipula aku belum sepenuhnya akan pergi, karena yang dapat memastikan aku bisa pergi adalah hasil ujianku nanti. Jadi kamu tak perlu khawatir. Tapi aku berharap kamu akan selalu mendukung cita-citaku, dan percayalah, hubungan kita akan baik-baik saja meskipun jarak memisahkan kita. "
"Aku akan dukung kamu, Do. "
Dengan percaya diri kujawab semua harapan Nando. Namun aku tak sepenuhnya yakin aku akan sanggup.
Nando mulai bercerita tentang keluarganya. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Saudara lelakinya sekarang seusiaku dan berada satu sekolah dengan kami. Dia mulai mendeskripsikan fisik adiknya agar aku mudah mengenalnya. Namanya Ferry.
Nando juga sering beradu pendapat dengan ayahnya, memang menurutnya, dia orang yang keras kepala seperti ayahnya, oleh karena itu, Nando sering beradu pendapat dengan ayahnya bahkan karena hal kecil sekalipun. Namun dibalik itu semua, Nando sangat menyayangi ayah dan ibunya. Ibunya selalu menjadi air dingin di keluarganya. Selalu menjadi penenang dan pelengkap kebahagiaan dihidupnya. Nando berjanji akan membawaku bertemu dengan orangtua dan saudaranya, agar aku bisa mengenal baik keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise
RomanceKita berjanji untuk selalu bersama meski tidak berada di tempat yang sama, yang pasti kita masih tetap berada di bumi yang sama.