Tujuh (pretend)

28 5 0
                                    


Biela meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, membuka buku telepon, dan menghubungi seseorang. Setelah terdengar nada dering, barulah pada deringan ketiga seseorang menjawabnya.

"Sir?" Biela menghela nafasnya. "Kau marah? Sungguh, aku tak bermaksud menyampaikan informasi yang salah kepada teman-temanku. Jika kau ingin menghakimiku, lakukan saja. Aku tak keberatan."

Hanya terdengar suara nafas yang memburu dari seberang ponselnya. Biela terdiam sejenak dan menutup sambungannya. Dia menyimpan ponselnya di dada, dan tertunduk menahan tangis yang nyaris pecah di kantung matanya. Seketika tangisan itu pecah dan terhenti sesaat setelah ponselnya bergetar tanpa suara. Biela memang sengaja mengatur ponselnya pada mode getar.

"Dia rupanya." Senyuman kembali tersungging di bibir lembabnya.

Dalam hatinya, ia melonjak kegirangan. 'Tetap di kelas setelah bel pulang'. Begitu kurang lebih pesan singkat yang dikirim Mr. Zian kepadanya, sesaat setelah ia menutup teleponnya.

***

Biela terduduk di atas sebuah kursi yang menghadap langsung ke pintu. Tangan kanannya masih saja menggenggam ponsel miliknya. Rasa takut menggelayuti hatinya, takut jika Mr. Zian benar-benar marah.

Seseorang di pintu menyadarkannya dari lamunan panjang yang entah sudah berkelana sampai mana. Pria itu berjalan dengan satu tangan di dalam saku celananya. Tubuh kekarnya yang entah bagaimana selalu terlihat menawan. Bahkan sehelai kain berbentuk kemeja lengan panjang berwarna hitam yang sekarang menggantung di tubuhnya, tak mampu menyembunyikan roti sobek yang bersembunyi di baliknya.

Biela terkesiap dan berdiri mematung di hadapan Mr. Zian. Tangan kanan Mr. Zian kini sudah menyentuh dagu Biela, tentu saja sikapnya membuat Biela menengadah menatap wajah teduhnya.

"Sir?" Biela mengernyit. "Kau marah?" Matanya menyipit dan nafasnya tersenggal.

"Tidak." Mr. Zian melepas tangannya yang menggantung bebas di atas dagu Biela. "Aku hanya tak ingin ada orang lain yang berpendapat lain tentangmu, jika saja aku terlalu mempercayaimu." Mr. Zian berpaling ke arah lain. "Aku hanya berpura-pura."

"Syukurlah." Biela menghela nafas beratnya. "Aku takut. Bahkan terlalu takut. Takut jika kau benar-benar menghakimiku."

"Aku memang sedang menghakimimu, Adik kecilku." Mr. Zian berbisik pelan dan meniup bagian bawah telinga kirinya. Semilir angin yang ditiupkan di telinganya seketika membuat dirinya menggelinjang dan secara tak sadar kakinya melangkah mundur menjauh dari kaki Mr. Zian yang seolah mengunci dirinya dalam diam. "Oh, ayolah. Aku tak sebangsat itu, Sayang." Mr. Zian mengulurkan tangannya. "Kemarilah. Biar kuantar kau pulang."

"Ya, Sir." Biela menerima uluran tangan Mr. Zian yang kemudian menarik dirinya ke dalam pelukannya. Mereka berjalan berdampingan keluar kelas dan menuju area parkir.

## Maaf yaa baru update lagi. Langsung dua part kok. #Voteplease

Jatuh ke atasWhere stories live. Discover now