Satu (ketertarikan)

77 14 0
                                    


"Aku ingin kembali, Bu." Ibu menghentikkan langkahnya saat butiran bening itu mulai menutupi mata Biela. "Aku muak. Aku masih terasa asing, sangat asing." Butiran-butiran bening itu mulai jatuh dan menetes.
"Tetaplah bertahan! Jangan kembali karena ayahmu takkan pernah kembali!" Ibu menoleh lewat bahu. "Ibu akan buatkan bekal untukmu."
Biela ingin berdamai dengan kenyataan. Menarik dan memeluknya seolah kenyataan sesuai dengan yang direncanakan. Merasa saling memiliki dan takkan pernah mengkhianati. Tapi, apa? Kenyataanlah yang justru merenggut jiwanya. Mengkhianati semua yang Biela rencanakan. Menjatuhkan Biela ke dasar jurang yang paling kelam.
***
Dia berjalan melalui pintu dan berdiri di hadapan mereka semua. Menarik tangan kanannya dari saku celana dan merapikan tatanan rambutnya.
"10 Akuntansi! Sudahkah kalian mengenal saya? Atau apa yang akan saya ajarkan pada kalian?"
"Mr. Zian Gunawan. Mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris."
"Kalian ingin saya memperkenalkan diri lebih jauh lagi? Atau langsung membicarakan materi yang akan saya ajarkan selama satu tahun ke depan?
"Perkenalan!"
"Kids!" Matanya berputar dan berpaling ke arah lain. "Sudah saya duga." Senyuman tersungging dari bibir tipisnya membuat lekukan dalam di pipi kirinya seolah ditusuk benda tumpul.
Tuhan, dia sangat manis.
"Usia saya tidak jauh berbeda dengan kalian. Saya masih berusia 26 tahun. Masih sangat muda, bukan? Saya belum menikah, dan tentunya belum punya anak. Cukup?" Mr. Zian menyimpan telunjuk kanannya di bibir dan langsung melanjutkan pembicaraannya tanpa memberi mereka kesempatan untuk menjawab pertanyaan kosong itu. "So, introduce yourself. But, in English! Just like what is your name, how old are you, and where are you from, your junior high school exactly. Got it?"
"Got it, Sir!"
Rambutnya yang klimis terbalut pomade. Kemeja lengan panjang berwarna coklat muda terlihat sangat menawan di tubuh kekarnya. Sepatu kulit hitam terlihat padu dengan celana bahan miliknya. Sesekali matanya melirik jam tangan kulit berwarna coklat di tangan kirinya.
"Time up!" Dia beranjak dari kursi dan menepuk kedua tangannya. "Silahkan maju ke depan, one by one! Siapa yang lebih dulu siap?"
"Saya, Sir." Biela mengangkat tangan kanannya.
Mr. Zian mengangguk dan mengangkat alis kirinya.
"Hello, my name is Biela Laras, you can call me Biela. I'm fifteen years old. I'm from 2 Bhakti Persada Junior High School in Cianjur."
"Cianjur?"
"Saya pindah rumah."
"Why?"
"My parent were divorce."
"Divorce? Kau punya saudara kandung?"
"Saya anak tunggal. Saya hanya tinggal berdua bersama ibu."
"Kalau begitu, anggap saja aku abangmu!" Dia memeluk Biela dengan tangan kanannya tanpa mengeluarkan tangan kirinya dari saku celana.
Biela merasakan sesuatu yang berbeda dari pelukan Mr. Zian. Pelukan hangat dari seseorang yang dingin sepertinya. Semilir angin di Jum'at pagi menyibak ujung roknya. Meniup bekas luka pukulan ibunya yang membiru. Membuatnya merasakan sakit yang luar biasa yang ia rasakan saat seikat sapu lidi dilayangkan ke kaki kanannya. Seketika Biela menjerit mengejutkan Mr. Zian yang kemudian melepaskan pelukannya.
"Kau baik-baik saja? Aku melihat amarah yang mendalam di matamu. Segala macam emosi yang seolah tidak akan pernah terpisah."
"Aku baik."
Biela menatap lukanya yang kembali tertutup rok hitam yang ia pakai. Menengadah menatap Mr. Zian dan meminta diri untuk kembali duduk.

Jatuh ke atasWhere stories live. Discover now