ToD 5 - Zhio

24.4K 3.8K 130
                                    

"Hallo, Kil. Gue mau jalan. Lo jadi ikut gue, kan?"

"Nggak jadi, Yo. Gue ikut Nata aja, dia bawa mobil lakinya. Sorry, ya. CR-V AC-nya lebih adem daripada Avanza. Hehehe." Dasar manusia kampret satu ini, nggak pernah ada basa-basinya. Tapi anehnya gue nggak tersinggung sama sekali dengan ucapannya. Malah masih sempatnya tertawa.

"Alaah, Kil. Lagak lo, biasa juga pakai Angin Candela...."

"Itu duluuu, Yo. Sekarang sudah era modernisasi. Jadi badan gue juga harus ikut modern biar hits. Oh, iya. Gue, Tiara, sama Gilang nebeng Nata. Rivan berangkat dari tempat mertuanya sama Dinda. Jadi, lo jemput Rizka!" Jelas sekali nada perintah dari suara Kila.

"Yooo... jangan sampai nggak jemput, mumpung lengkap semua personilnya."

"Oke," jawab gue. Membenarkan letak jam tangan.

Klik. Panggilan dimatikan dari pihak Kila. Cantik-cantik kampret. Gue yang telepon dia yang matiin.

---

"A' Zhio kemana aja dua hari nggak main ke sini." Adnan yang pertama berucap ketika gue sampai rumah Rizka.

"Kemarin ada tugas di luar kota." Gue nggak sepenuhnya berbohong. Memang ada tugas luar kota. Walau alasan sebenarnya karena Rizka nggak mungkin mau ketemu sama gue lagi.

"Nan, siapa yang dateng?" Itu suara Rizka. Sudah hampir dua hari gue nggak dengar suara tersebut.

Dia berdiri di depan mata gue. flat shoes berwarna krem dengan pita lucu di depannya, skinny jeans, dan kaos putih panjang dengan garis-garis kecil di pundaknya. Jam tangan merah terang, rambut di kucir satu belakang, dan poni yang dibiarkan berlarian. Dulu, saat gue masih pacaran sama Thalita, high heels dan dress adalah tampilan yang gue lihat setiap hari tapi entah kenapa menatap Rizka yang sederhana begini juga menyenangkan.

"Kila nebeng Nata. Mau nyobain AC CR-V katanya," ucap gue saat tahu raut wajah Rizka yang berubah saat hanya gue yang datang.

Rizka menatap gue, "ya udah, yuk jalan. Nanti malah ketinggalan traktiran dari Nata."

Gue mengangguk singkat. Rizka berpamitan pada adiknya terlebih dahulu. Sebelum mengekori gue masuk dalam mobil.

Selama perjalanan, Rizka hanya diam memainkan ponsel pinternya, entah mungkin sedang bermain pou. Padahal selama sepuluh hari kemarin tiap ada Rizka di mobil, radio pun tak berguna. Karena Rizka sudah lebih dari cukup meramaikan mobil dengan candaannya. Keramaian yang tiba-tiba gue rindukan.

"Yoo... masa ada mie ayam gocengan doang, cobain yuuuk."

"Yoo coba dengerin lagu ini deh."

"Yooo pecel lele di warung kemarin enak, murah lagi, mana porsi banyak. Besok nyobain yuuuk."

"Yoo... ini penyiar dulu pernah kerja di kantor gue. Gaji penyiar berapa sih, banyak ya?"

"Yoo... ih si Dedek itu kasihan ya, naik motot hujan-hujan."

Dan 'Yoo.... Yoo...' lainnya. Pasti ada saja yang dikomentarinya. Nggak diam begini.

"Ehm... si Nata buatin rawon berhadiah credit card. Emang dasar tajir melipir itu Panji." Gue mencoba memecah keheningan.

"Iya, enak sih kelihatannya. Mobil bagus, rumah bagus, semua serba kecukupan. Tapi kita, kan, nggak tahu bagaimana perjuangan dia. Bagaimana hidup Nata sebenarnya. Ya, sawang sinawang lah, Yo. Yang kelihatannya enak belum tentu enak juga. Pasti ada riak-riak masalah."

"Kamu, kalau dikasih kesempatan pilihan nikah sama orang kaya apa orang miskin, pilih mana?"

"Kalau pilihannya cuma orang kaya sama miskin, ya jelas sama yang kaya. Siapa yang mau hidup miskin, sih, Yo," ucap Rizka greget.

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang