ToD 23

2.5K 234 18
                                    

Masih ada yang menunggu Rizka Zhio, kah?

Happy reading...

***

Flashback - Zhio

"Maaf, Om, tadi beneran macet dan Rizka minta jajan dulu," ujar gue, jujur.

Papa Rizka hanya diam. Meneliti gue dari atas sampai bawah. Tatapan orang militer itu bagai laser yang siap menguliti tubuh gue tanpa tersisa. Kemudian beliau mengembuskan napas. "Kamu tahu kalau yang selama ini saya lakukan semata-mata karena saya ingin melindungi Rizka, buah hati yang sudah saya besarkan dengan penuh kasih sayang. Bahkan untuk Rizka, jiwa raga pun siap saya korban, kan."

Gue mengangguk. Mengerti sekali bagaimana perasaan Papa Rizka saat mengatakan demikian. Apalagi Rizka anak perempuan, sudah pasti harus dijaga bak emas berlian. Karena, gue yang anak lelaki saja waktu pindahan ke kota orang juga menjadi tangisan kesedihan bagi orang tua gue.

"Saya lihat pergaulan anak jaman sekarang makin nggak wajar. Melanggar batas norma dianggap sudah biasa. Bocah masih SD sudah bermesraan memanggil mama papa, belum lulus sekolah sudah hamil duluan, belum pelecehan seksual lainnya.

"Sebagai orang tua, saya nggak mau Rizka mengalami salah satu diantaranya. Saya nggak mau Rizka mencoreng nama baik keluarga. Belum lagi beban mental yang akan dihadapi setelahnya. Kamu pasti bisa membayangkan apa yang dialami pasangan yang memiliki anak sebelum menikah. Bahkan banyak dari mereka yang nekat membuang anak hasil hubungan belum resmi mereka. Miris bukan?"

Gue mengiyakan ucapan beliau dalam hati.

"Dalam sebuah hubungan antara lelaki dan perempuan itu paling banyak dirugikan adalah pihak perempuan," jelas beliau.

Gue kembali mengangguk. Membenarkan segala perkataan beliau.

"Saya tidak pernah memandang harta seseorang, tapi kalau boleh meminta, saya ingin anak saya mendapatkan jodoh yang sudah mapan secara finansial. Jadi, saat kelak dia menjadi seorang ibu, dia tak perlu kepikiran untuk mencari uang tambahan. Karena itu sudah menjadi tanggung jawab seorang suami.

"Ditambah sekarang sudah marak pasangan pisah hanya karena materi. Apalagi jika sudah memiliki keturunan. Rasanya cinta saja tak cukup memberi kenyang anak istri bukan?"

Gue kembali mengangguk. Sepoi angin malam menggelitik leher gue yang tak tertutup sehelai benang. Berbicara empat mata dengan Papa Rizka di depan rumah tak membuat gue merasa diadili, malah ucapan beliau terasa merangkul gue.

Apa yang diucapkan Papa Rizka itu sebagai bentuk instruksi dari pikirannya yang berpikiran jauh saat melihat gue mencium anaknya kala itu. Jadi wajar saja jika beberapa saat beliau murka pada gue dan Rizka. Karena kami bukannya merangkul beliau malah memberi perlawanan.

"Kamu serius dengan Rizka?"

Alih-alih menjawab, gue malah menatap wajah beliau. Menelisik jawaban dari perubahan wajahnya, "Saya serius, Om," jawab gue tegas dan lantang bak seorang militer saja.

"Kalau kamu serius dengan Rizka, kamu bawa keluarga kamu ke sini. Kalau memang sekiranya masih banyak keraguan di hati kamu, lebih baik kamu jaga jarak dulu dengan Rizka. Karena saya tidak mau anak saya dibuat permainan," ujarnya, "hati-hati di jalan, Yo," imbuh beliau sebelum berbalik dan menutup pintu.

Beberapa saat gue masih terdiam di tempat. Termenung memikirkan ucapan Papa Rizka barusan. Beliau menginginkan gue buat bawa keluarga ke rumah tapi juga mengharap punya calon mantu yang sudah mapan.

Pukul 11 malam dan gua masih terjaga. Perkataan Papa Rizka seperti membentuk lingkaran yang terus berputar di benak gue. Per-kalimatnya tercetak jelas di sana. Gue pikir, setelah gue mengatakan serius sama Rizka, Papanya cuma bakal ngasih lampu kuning. Tak tahunya lampu hijau, tapi pertimbangan buat jalannya banyak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang