ToD 19

28.8K 3.8K 269
                                    

Matahari mulai menyingsing, ayam jago pun susah selesai dengan tugas paginya dan siap mencari sebongkah makanan. Aku pun sudah duduk manis di depan cermin rias, memoles segala produk make up andalanku guna menunjang penampilan meski sejujurnya aku lebih suka wajah natural.

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajahku. Mengingat kembali ucapan Zhio semalam tentang janji-janjinya. Memang hanya sekedar ucapan, tapi entah bagaimana mampu membuat pagiku lebih berwarna. Semoga itu bukan jambu alias janji busuk karena aku sudah terlanjur percaya padanya.

Itu artinya, aku sudah tak perlu meraba kembali perasaan Zhio padaku bukan? Sudah sangat jelas bahwa Zhio menginginkanku dan mengharapkanku berjuang bersamanya. Ah... membayangkan saja membuat pipiku mulai memanas.

Aku berharap Zhio tak berakhir seperti Alvaro, memilih pergi karena sudah tak tahan. Dan semoga kali ini Papaku lebih lapang hatinya menerima kedekatanku dengan Zhio.

Begitu keluar dari kamar, kudengar sayup-sayup suara Zhio dan Adnan sedang bercakap di ruang tamu. Zhio memang sudah tak bisa seenaknya ikut makan pagi bersama keluargaku kembali. Mengingat bagaimana reaksi Papaku saat ini. Zhio mungkin mengerti dan enggan menambah perkara. Seperti ini saja aku sudah bersyukur.

"Yo..." panggilku, mendekat ke arahnya.

Zhio menoleh lantas berdiri, "mau berangkat sekarang? Atau mau sarapan dulu aku tunggu," ujarnya.

Kutengok jam yang tergantung di dinding. Sebenarnya masih terlalu pagi kalau berangkat sekarang tapi semakin lama di rumah maka semakin lama pula dilihat oleh Papa. Kasihan pula Zhio.

"Berangkat sekarang aja, takut macet kalau agak siangan," ucapku, kembali melayangkan senyum manis pada Zhio.

Zhio mengangguk. Dirinya berjalan ke ruang keluarga. Terdengar meminta izin pada Papa dan Mama. Mama memang terlihat lebih ramah, sementara Papaku masih dengan wajah masamnya namun tetap memberi izin. Untungnya Zhio tak ikut kesal pada sikap Papa.

"Kalau sama Papa itu, mau dongkol mau nahan emosi sampai mau meledak. Harus terus akting ramah. Biar Papa juga luluh, kaya tadi," ucapku saat di perjalanan.

"Aku nggak akting, memang yang kulakukan tadi tulus dari hati." Zhio tak terlalu menggubris omonganku setelahnya hanya menjawab alakadarnya. Mungkin pikirannya sedang bercabang ke mana-mana.

"Kamu suka sama mobil apa?" tanya Zhio tak jelas.

"H-RV, mini tapi kelihatan cool aja, biar kaya aku. Mini tetap kelihatan anggun," ucapku tertawa.

"Kalau Avanza biasa aja, Riz? Mobil sejuta umat ya ini. Dijalan kalau gak nyalip Avanza ya disalip Avanza juga. Pantas Papamu meminta aku untuk memantaskan diri."

Aku menoleh, "ini kenapa jadi bahas mobil sih? Mau H-RV atau Avanza, yang penting kan hasil kerja keras sendiri, bukan boleh maling."

"Mobil ini cicilannya juga masih lunas tiga tahun lagi. Sanggup kamu nunggu selama itu?"

Aku tersenyum kecut, "maksudnya apa, Yo? Kamu meremehkan aku? Kamu kan udah janji nggak akan ninggalin aku, terus sekarang kamu sok bilang ini itu. Jadi, kamu serius nggak sama aku?"

Zhio mengusap pipiku, "maaf, aku hanya nggak mau kamu pergi kaya Lita. Keluarganya juga nggak setuju karena aku dianggap nggak mampu membahagiakan anaknya."

"Kaaan, banding-bandingin aku sama dia," aku merengut.

Zhio tergelak, badannya maju kemudian dengan mengecup bibirku singkat. Kudorong dada Zhio hingga membentur punggung jok, beraninya Zhio menciumku saat menyetir mobil.

"Kalau sampai ketahuan Papa gimana? Bisa habis dibedil kamu sama beliau," gerutuku.

Zhio ganti mengusap rambut yang kusisir lebih dari tiga kali pagi ini, "habis kamu manis," guraunya.

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang