Mei 2010, perbatasan jalur Gaza.
"Cepat habiskan sarapanmu, Fatimah. Aku tidak ingin melihat makanan tersisa di piringmu." Komando Yasmin pada adiknya yang berusia delapan tahun.
"Kau juga, Sumayya. Ayo, jangan bermain-main lagi." Sementara Sumayya yang berusia lima tahun hanya menertawai peringatan kakak tertuanya.
"Aisyah, apakah kau ingin makan lagi?" Tawar Yasmin pada adik keduanya. Gadis kecil berlesung pipi itu menggelengkan kepala sembari tersenyum menolak tawaran Yasmin.
"Yasmin, hari ini Abi pulang, kan?"
"Ya, Fatimah. Ayo habiskan sarapanmu sebelum Abi sampai terlebih dahulu."
"Dimana Muhammad?" Sumayya memiringkan kepalanya ke kiri. Sedari tadi Muhammad memanglah belum menampakan diri.
"Pergi ke kantor militer. Menjemput Abi."
"Yasmiinn .... "
"Labbaik, Umi."
Seorang wanita yang memakai pakaian panjang berwarna hitam menghampiri meja makan. Bermata coklat terang, dengan hidung mancung dan mungil itu nampak sama dengan milik Yasmin. Umi, juga memiliki dagu yang lancip seperti Yasmin.
"Fatimah, Sumayya, kenapa kalian belum menghabiskan makanan? Saudaramu sudah bersusah payah memasakannya."
"Biarlah, Umi. Mereka akan menghabiskannya sebentar lagi. Umi hendak pergi kemana?"
"Umi akan pergi melihat suasana kota, apakah cukup aman atau belum. Lagipula, persediaan makanan kita juga sudah mulai habis."
"Aisyah?"
Aisyah menoleh, memenuhi panggilan Ibunya. Usianya sudah dua belas tahun. Dia yang paling pendiam diantara saudara-saudara Yasmin yang lainnya. "Ya, Umi?"
"Tetaplah dirumah bersama Kakakmu. Bantulah Yasmin jika ia tampak kesulitan." Hanya anggukan kepala yang ia jadikan jawaban.
"Umi .... Umi." Cetuk Sumayya, Umi menoleh.
"Ada apa, Sumayya kecilku?"
"Apakah Palestina sudah bebas? Mereka tidak akan menyerang Palestina lagi, Bukan?"
Yasmin berusaha tersenyum mendengar penuturan Sumayya. Sementara Umi, hanya membelai pipi merah milik putri bungsunya itu.
"Berdoalah untuk kebaikan negara kita, Sayang. Semoga Israel berhenti menyerang palestina."
"Baiklah, Umi."
"Yasmin, jika Muhammad sudah pulang, katakan padanya jika aku menunggunya."
"Baiklah, Tetaplah berhati-hati, Umi." Dengan cepat Yasmin menarik tangan kanan ibunya dan menciuminya.
Yasmin mengantar kepergian ibunya sampai ke depan rumah. Cemas, itulah yang dia rasakan.
Kendati konflik Israel dan Palestina tidak kunjung usai, ketakutan semakin menjadi-jadi. Hidup diantara gencatan senjata bukanlah sebuah pilihan untuknya.
Dengan gesit, Yasmin menyelesaikan tugasnya di rumah. Sesekali mengawasi tiga adik kecilnya.
Yasmin Kamilia. Usianya tujuh belas tahun. Dia di besarkan ditanah perang. Masa kecilnya tidaklah seindah anak-anak di luar sana.
Jangan pernah membayangkan jika mereka memiliki mainan yang bagus, ponsel yang mewah dan pakaian yang indah.
Tujuh belas tahun hidup di tanah Palestina, dia hanya mendambahkan kebebasan negeri Palestina dari tuntutan zionis keji Israel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamilia
Teen FictionIni tentang seorang Yasmin Kamilia, seorang gadis Palestina yang berhasil menyeludup masuk ke London ketika konflik antar Israel - Palestina tak kunjung usai hingga menewaskan Ayah, Ibu, dan tiga saudara perempuannya. yang hanya menyisahkan dirinya...