Notes: Aku pakai Google Translate buat menerjemahkan kalimat dalam bahasa Jerman. Bila ada kesalahan, silakan mengoreksinya. Terima kasih. ^^
Leipzig, Jerman, 2012.
Alarick Helmer memutar-mutar matanya kesal ketika melihat hujan masih belum kunjung berhenti. Niatnya untuk menjelajahi Leipzig semakin menipis saat mendapati cuaca masih belum membaik juga sejak satu jam yang lalu. Dan hari ini, Alarick sudah setengah putus asa. Kalau bukan karena kakeknya, Deryk Helmer, tidak mengajukan permintaan yang konyol--namun sulit--Alarick tidak akan ada di sini. Tetapi sebagai cucu laki-laki kesayangan dan satu-satunya, Alarick merasa bertanggungjawab untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya itu.
Deryk menyuruh cucunya menemukan wanita bernama Sarah Ailbe. Menurut Alarick, petunjuk yang ditinggalkan Deryk tidak jelas. Hanya tiga foto tua, secarik surat, serta sebuah alamat di Polandia yang diyakini sebagai tempat tinggal terakhir Sarah Ailbe. Sayangnya, ketika Alarick mengunjungi alamat itu, bangunan itu sudah berubah menjadi gedung bertingkat, bukan rumah lagi.
Dia lalu melakukan pencarian dengan memeriksa ratusan nama di internet dan buku telepon. Lalu setelah pendataan selesai, mulailah merasa dirinya menjadi Sophie dalam film Letters to Juliette--film komedi romantis aneh yang dia tonton bersama mantan pacarnya, Franziska, dua tahun yang lalu. Tokoh utamanya berputar-putar mencari seseorang di sepenjuru Eropa. Maka, bermodal Google Translate dan Google Maps, dia mencari ke sepenjuru Polandia dan Jerman demi mencari seorang wanita bernama Sarah Ailbe. Dua negara itu yang memunculkan nama Sarah paling banyak, sekaligus negara yang masih berkaitan dengan masa lalu kakeknya.
Alarick akhirnya memutuskan untuk meninggalkan penginapan ketika jam telah menunjukkan angka 12.05. Dia berdoa sejenak, berharap hari ini pencariannya berakhir. Di kota ini, tinggal satu orang bernama Sarah Ailbe yang belum didatangi oleh Alarick. Pria muda itu mengecek layar smartphone-nya, menyalakan GPS, lalu berjalan kaki menuju alamat yang terpampang di sana. Rumah yang ia tuju tidak jauh dari penginapan, maka Alarick pikir tidak perlu berkendara dengan mobil.
Tempat tinggal wanita itu terdapat di Nordstrasse Landstr 42/6577. Rumahnya cukup besar, bergaya minimalis, bertingkat dua dan tampaknya sudah direnovasi beberapa kali. Setelah menghela napas beberapa kali, Alarick akhirnya menekan bel. Tak berapa lama, seorang wanita paruh baya keluar dari pintu depan sambil membawa payung. Ia tersenyum ramah meski gerakannya tampak tergesa-gesa.
"Entschuldigung (1)," kata Alarick dengan bahasa Jerman berlogat Polandia. "Is dieses haus von Sarah Ailbe?" (2)
"Ja. Wer heißen Sie?" (3)
"Ich heiße Alarick Helmer, freund von Frau. Ailbe. Kann ich Frau. Ailbe treffen?" (4)
Dahi wanita itu sempat berkerut sedikit, namun akhirnya ia mengangguk dan membukakan pintu. Alarick lalu menunggu di ruang tamu, sementara perempuan berambut hitam tadi masuk dan memanggilkan seseorang di dalam. Ia berteriak sesuatu yang kedengaran seperti, "Ibu, ada tamu untukmu!"
Beberapa menit berselang, muncullah seorang perempuan lanjut usia dengan rambut seputih kapas. Ia mengenakan gaun rumah biru muda dengan motif bunga-bunga putih. Dengan perlahan, wanita itu berjalan ke ruang tamu dengan bantuan sebuah tongkat. Wanita paruh baya yang tadi menemaninya ke ruang tamu. Setelah meninggalkan dua gelas air, dia undur diri.
"Tamu untukku? Sudah lama sekali," gumamnya.
Alarick menaikkan kedua alisnya. Barusan ia mendengar sebuah ocehan dalam bahasa Polandia?
"Hallo, Frau. Ailbe," sapa pemuda itu. Lalu ia bertanya dalam bahasa ibunya, "Anda bisa berbicara bahasa Polandia?"
"Ya. Kau siapa? Kata putriku, namamu Alarick Helmer. Apa kita saling mengenal? Dan, oh, tunggu, namamu Helmer?" tanya Nyonya Ailbe. Dia menjawab dalam bahasa Polandia yang lancar. Wajahnya menampakkan keterkejutan ketika mendengar tamunya berbicara dalam bahasa asing.
"Ah, ya. Sebenarnya, saya tidak mengenal Anda secara langsung, tetapi seseorang menyebut-nyebut nama Anda. Hmm... apakah Anda tahu Deryk Helmer?"
Kali ini, Sarah Ailbe benar-benar kaget. Ia terdiam sejenak, mata birunya melebar, dan mulutnya terbuka sedikit. "Deryk Helmer... anak dari tukang pembuat roti itu. Wah, wah, sudah sangat lama aku tidak pernah mendengar namanya. Apakah kau kenal dia?"
"Beliau adalah kakek saya." Alarick menjawab dengan sumringah. Di dalam hati, pemuda dari Warsawa tersebut merasa sangat lega. Tampaknya, inilah orang yang dia cari-cari. Maka, dia merogoh saku, lalu mengeluarkan kantong plastik berisi beberapa lembaran kertas. Ditunjukkannya tiga lembar foto kepada Sarah. Yang satu potret seorang gadis muda berusia kira-kira enam belas atau tujuh belas tahun. Ia mengenakan gaun garis-garis sederhana yang panjangnya setengah betis. Foto yang satu lagi adalah foto bersama sebuah keluarga, dan gambar terakhir menampakkan sosok gadis muda yang tadi bersama seorang remaja laki-laki. Mereka berdua tampak sedang berpose di depan pagar rumah.
"Apakah Anda tahu foto-foto ini?" tanya Alarick Helmer.
"Aku lebih dari tahu. Gadis di foto ini," ia berujar sambil menunjuk foto pertama. "Adalah aku. Yang itu adalah keluargaku beserta keluarga Helmer. Dan rumah ini... astaga, ini rumah masa kecilku di Wadowice. Oh, oh! Aku ingin tahu apakah bangunan itu masih ada hingga sekarang."
"Rumah itu... sudah menjadi apartemen sekarang. Ngomong-ngomong, Kakek juga menitipkan sebuah surat untuk diberikan kepadamu." Alarick membuka bungkusan plastik, lalu menyerahkan selembar kertas yang sudah menguning dan terlipat-lipat. Saat Sarah membukanya, tampaklah huruf-huruf tegak bersambung tergores sangat rapi di sana. Wanita itu membacanya dengan penuh penghayatan selama beberapa lama. Sesekali ia tersenyum dan tertawa, tetapi setelah selesai membaca akhirnya Sarah menitikkan air mata.
"Alarick," panggil Sarah dengan lembut, seolah-olah ia menyebut nama anaknya sendiri. "Di mana Deryk sekarang? Apakah ia masih hidup?"
Dengan penuh sesal, Alarick Helmer berkata, "Maaf, tapi Kakek sudah meninggal bulan Juni tahun lalu. Dan inilah permintaan terakhir beliau, mencari Anda, lalu memberikan surat beserta foto-foto ini."
"Ah... Sayang sekali, padahal aku sangat ingin membalas suratnya, atau jika bisa, bertemu dengannya...." Air mata Sarah keluar semakin banyak.
Selama beberapa saat, Sarah Ailbe tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Wanita itu tampak terguncang. Sesaat, ruang tamu itu begitu hening. Hanya ada suara tetesan air hujan serta petir yang menyambar. Pikir Alarick, benar juga kata Albert Einstein semasa kecilnya, tampaknya hujan berarti langit sedang menangis.
Namun, beberapa saat kemudian, Sarah bisa menguasai diri kembali. Ia menghapus air matanya, lalu berkata kepada Alarick, "Nah, Nak, selagi kau berada di sini, bagaimana jika kuceritakan masa laluku beserta Deryk?"
Mata Alarick berbinar untuk sesaat. "Saya akan sangat senang mendengarkannya."
Sarah tersenyum sedikit. Ia menyuruh putrinya membuatkan teh, lalu mulailah kisahnya mengalir.
***
(1) Permisi
(2) Apakah ini rumah Sarah Ailbe?
(3) Ya. Siapa Anda?
(4) Saya Alarick Helmer, teman Sarah. Bisakah aku bertemu Sarah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Auschwitz In Memory [END]
Historical Fiction1941. Dunia kembali bergolak dan kamp-kamp konsentrasi di Jerman dan Polandia mulai dibangun. 1942. Sarah Ailbe dan Deryk Helmer harus berpisah. 2011. Deryk meninggal dunia dan meninggalkan kenangan-kenangannya kepada cucunya, Alarick, terma...