Di akhir musim panas tahun itu, aku dan dr. Clayton Blackhill menempuh perjalanan dari Oświȩcim* ke Wadowice. Dr. Blackhill mengantarkanku pulang dengan Völkswagen Kübelwagen sewaan--kemungkinan besar merupakan hasil sewaan perang. Ternyata jarak kamp konsentrasi dengan rumahku tidak terlalu jauh, hanya dua atau tiga jam perjalanan. Entah apa yang membuat perjalanan berangkatku dulu begitu lama.
Sepanjang perjalanan, dr. Blackhill beberapa kali mengajakku mengobrol untuk mencairkan suasana. Berdua saja seperti ini membuatku merasa sangat canggung.
"Aku berencana kembali ke Amerika awal musim gugur ini," dr. Blackhill membuka pembicaraan.
Aku menatapnya. "Secepat itu?"
"Ya, sudah lama aku tidak pulang. Aku ingin bertemu keluargaku, mereka pasti khawatir." Dia terus memandang lurus ke depan, memacu mobil melintasi jalan raya yang sepi. Di kiri dan kanan jalan, terhamparlah padang rumput yang telah menguning. Angin sepoi-sepoi bertiup dan langit biru yang cerah menemani perjalanan pulang kami.
"Kau punya saudara? Adik atau kakak?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Dua adik perempuan dan seorang kakak laki-laki."
"Wow, kau punya keluarga yang besar," ujarku.
"Bisa dibilang begitu. Oh, bukankah seharusnya kau senang, Sarah? Tersenyumlah sedikit, kau tampak tegang hari ini," dr. Blackhill berujar lagi. Dia menepuk bahuku sekilas dan mau tidak mau aku tersenyum kecil.
Dr. Blackhill benar, seharusnya aku senang bisa kembali ke rumah. Namun, hari ini jantungku terus berdentum-dentum dipenuhi rasa cemas.
"Dokter Blackhill," panggilku.
Dia mengoreksi, "Tolong panggil aku Clayton saja, Sarah."
"Ah, benar, maaf." Aku meringis. Canggung rasanya menyebut nama depan pria itu, meski dr. Blackhill sendiri yang memintaku memanggilnya demikian.
"Clayton, mengapa kau tidak pernah bertanya sedikitpun mengenai kamp konsentrasi padaku? Padahal banyak sekali yang bertanya mengenai hal itu." Aku bertanya.
Dia menggigit bibir bawahnya sebelum berujar.
"Begini. Trauma akibat penyiksaan berat bukanlah sesuatu yang mudah disembuhkan. Pengobatan traumanya pun berbeda-beda karena keadaan pasien yang bermacam-macam." jelas Clayton. "Ada sebagian pasien yang sering meracau dan terus membicarakan semua yang pernah mereka alami. Tetapi ada pula yang sepertimu, memilih untuk diam dan tidak mengingatnya lagi."
Aku mengangguk, mengagumi cara dr. Blackhill memahami keadaan para pasiennya.
Pria itu menambahkan lagi, "Pada intinya, semuanya membutuhkan waktu untuk dapat kembali seperti sediakala. Dalam kasus sepertimu, kurasa akan lebih baik bila kau sendiri yang menceritakannya."
"Tentu saja."
Matanya terpaku padaku selama beberapa saat, lalu barulah dia kembali mengarahkan pandangan ke depan. Diam-diam, kuamati dokter muda itu.
Hari ini, dr. Blackhill memakai kemeja putih dan celana hitam dengan bretel. Lengan kemejanya digulung hingga siku. Bisa kukatakan dia memang cukup tampan. Sedikit banyak, penampilannya hampir menyerupai Deryk Helmer. Rambut pirang hampir coklat, mata biru, dan seringaiannya itu mirip dengan kepunyaan Deryk. Perbedaannya, pakaian dr. Clayton selalu rapi, sementara Deryk seringkali kacau dan berantakan. Selain itu, ada kumis tipis yang membuat pria itu terkesan lebih matang dan kebapakan.
Akhirnya, saat tengah hari kami sampai di pinggiran kota Wadowice. Saat mobil memasuki jalanan desaku, aku langsung merasa sedih. Di jalan ini, tepat tiga tahun yang lalu, Deryk bersepeda sambil memboncengku. Saat memandang lurus ke kejauhan, kulihat pohon maple tua masih berdiri kokoh di bukit yang biasa kudatangi. Bukit Pohon Besar, begitu aku dan Deryk biasa menyebutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Auschwitz In Memory [END]
Historical Fiction1941. Dunia kembali bergolak dan kamp-kamp konsentrasi di Jerman dan Polandia mulai dibangun. 1942. Sarah Ailbe dan Deryk Helmer harus berpisah. 2011. Deryk meninggal dunia dan meninggalkan kenangan-kenangannya kepada cucunya, Alarick, terma...