Aku hampir putus harapan. Deryk adalah satu-satunya alasanku bertahan hingga kini, tapi aku tidak tahu apa kabarnya sekarang, di mana dia, dan apa yang dia lakukan.
"Tenanglah, Sarah, Deryk pasti akan baik-baik saja. Dia laki-laki yang hebat," Rena berkali-kali menyemangatiku.
"Mengapa kau bisa seyakin itu?"
"Karena dia orang paling teliti dan hati-hati yang pernah kutemui. Deryk bisa memprediksi hal buruk yang akan terjadi dan dia bisa membaca situasi," jawabnya. "Lagipula, kawanmu itu tidak punya ciri-ciri fisik orang Yahudi sama sekali."
Ucapan Rena Kornreich ada benarnya, walau aku tidak yakin sama sekali. Seperti yang sudah kukatakan sebelum-sebelumnya, kematian bisa datang kapanpun. Sedikit demi sedikit, api semangatku mulai padam dan bara dalam diriku mulai lenyap. Di tempat yang begitu asing dan menakutkan ini, aku mulai merasa sendirian dan ketakutan. Pertahanan dan keberanianku mulai mendekati batasnya.
Aku memang memiliki Rena dan Danka. Mereka temanku, namun kami tidak cukup dekat untuk bisa saling mengerti dan menguatkan. Rena berbeda dengan Deryk yang telah mengenalku cukup lama. Lagipula, beban Rena sudah cukup berat, ia harus bisa menjaga adiknya. Dan apabila terjadi sesuatu, maka Rena akan mencari adiknya lebih dahulu daripada aku.
Saat itu, satu-satunya hal yang terpikir di otakku berpasrah kepada Tuhan. Maka setiap ada kesempatan, aku berdoa dan merenung, mencari kekuatan pada-Nya. Di kala aku sangat cemas, kurenungkan betapa Yesus juga mengalami ketakutan yang sama ketika Dia hendak disalibkan.
Kemudian di suatu hari, sebuah kejutan datang padaku.
"Mana yang bernama Sarah Ailbe?"
Aku mengangkat kepala begitu namaku dipanggil. Saat itu jam kerja di siang hari belum berakhir dan aku masih menanam wortel. Kapo kamp perempuan, Bertha Schön tiba-tiba mencariku. Dia wanita Jerman yang dingin, galak dan tegas, sehingga banyak tahanan yang takut kepadanya. Dan bila dia memanggil, berarti sesaat lagi akan ada masalah yang datang menimpa.
Dia lalu mengulangi dengan suara keras, "Mana Sarah Ailbe?"
Kutarik napas panjang-panjang dan kuberanikan diri untuk mengangkat tangan. Jawabku, "Saya."
"Oh." Bertha berjalan ke arahku. Mata abu-abunya yang dingin menatapku sinis, lalu ia menyerahkan selembar kertas kecil yang terlipat dua. "Ada surat untukmu. Baca nanti saja setelah selesai bekerja."
"Ba-Baik. Terima kasih banyak."
Maka aku menyimpan carikan kertas itu di saku bajuku. Sesudah selesai bekerja, di waktu makan siang barulah aku membukanya. Pengirimnya membuatku terkejut, sekaligus senang luar biasa.
Deryk Helmer mengirimiku surat!
Bunyinya begini:
Kepada Sarah Ailbe
Kamp Perempuan 301
Auschwitz-BirkenauApa kabar, Sarah? Aku dipindahkan ke tempat yang baru, letaknya sangat jauh dari kamp kita. Aku dipekerjakan di sebuah pabrik senjata. Syukurlah keadaan di sini jauh lebih baik, meski kami harus bekerja keras.
Tetaplah bertahan untuk hidup. Dan kalau surat ini berhasil sampai di tanganmu, beritahu aku.
Sebuah surat dari Deryk membawa kelegaan luar biasa bagiku. Inilah kebahagiaan pertama untukku setelah berbulan-bulan hidup dalam segala macam kesulitan. Inilah hari pertama aku merasa teramat senang sejak tiba di Auschwitz!
"Rena!" Aku menemui gadis itu setelah selesai bekerja di sore hari. "Deryk mengirimiku surat!"
Mata cokelatnya berbinar. "Benarkah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Auschwitz In Memory [END]
Historical Fiction1941. Dunia kembali bergolak dan kamp-kamp konsentrasi di Jerman dan Polandia mulai dibangun. 1942. Sarah Ailbe dan Deryk Helmer harus berpisah. 2011. Deryk meninggal dunia dan meninggalkan kenangan-kenangannya kepada cucunya, Alarick, terma...