Saat aku memasuki ruangan itu, kutemui masalah baru. Matras jerami tempat aku berbaring amat keras dan sempit. Tetapi, itu bukan hal utama yang mengusikku, yang benar-benar membuatku tak tahan adalah suhu tinggi. Jika ada termometer di sini, mungkin benda itu akan menunjukkan 39⁰ C atau lebih. Tak pernah kusangka bahwa suhu tinggi di musim panas bisa semenyiksa ini. Meski jendela-jendela sudah dibuka lebar, aku masih terus berkeringat akibat kepanasan. Kalaupun ada angin, yang bertiup hanyalah angin panas dan itu tidak membuatku merasa baikan. Belum lagi, aku merasa sangat haus dan lapar karena tak makan maupun minum apapun selama 18 jam terakhir. Ditambah adanya nyamuk-nyamuk rakus yang berebut menghisap darahku, aku semakin tak bisa tidur.
Aku membolak-balikkan badanku dengan gelisah sepanjang malam. Kira-kira, apakah Deryk juga mengalami hal yang sama denganku? Apakah dia sudah pernah memperkirakan bahwa kami akan mendapatkan tempat tinggal seburuk ini?
Saat pagi datang, kami dibangunkan dengan bunyi lonceng yang membahana ke sepenjuru tempat. Saat itu, kurasa sudah pukul empat pagi. Aku bangun dengan keadaan tak segar. Kepalaku pusing, mataku berat, dan seluruh tubuhku pegal. Kurasa aku hanya tidur selama satu jam atau kurang, itupun tak nyenyak.
Aku mengikuti tawanan-tawanan yang lain menuju lantai satu. Di sana terdapat kamar mandi umum yang mungkin dapat menampung puluhan orang. Sebelum memasuki kamar mandi, beberapa orang wanita membagi-bagikan sabun batangan kecil pada masing-masing dari kami. Tak ada pakaian ganti dan pintu. Tak ada privasi di kamar mandi, setiap bilik hanya dibatasi dengan dinding rendah dan ember berisi air. Bagiku, ini mengerikan dan teramat menggangguku. Namun, apa boleh buat, akhirnya aku mengguyur badanku dengan air dingin.
Setelah mandi, kami digiring ke luar bangunan. Di sana, ada meja-meja dengan banyak teko di atasnya. Aku menghela napas pasrah ketika menyadari tidak ada makanan untuk sarapan. Jadi, aku hanya mengisi perutku yang lapar dengan teh tawar panas.
Sesudah waktu sarapan selesai, seorang wanita berseru berkali-kali, “Tawanan yang baru tiba kemarin, silakan berkumpul di sini!”
Aku menurutinya. Ternyata, ada ratusan gadis seusiaku yang juga baru sampai di tempat ini kemarin.
“Selamat datang di Auschwitz-Birkenau, sub-kamp 301. Dan perkenalkan, namaku Maria Mandel. Aku kepala kamp perempuan di sini, dengan kata lain penanggungjawab kalian semua,” jelasnya dengan bahasa Jerman berlogat Polandia. Wanita itu tampaknya sudah mencapai usia empat puluh, namun bisa kulihat jelas kondisi fisiknya masih amat bagus. Di sisi lain, dia terlihat menakutkan dan matanya tampak liar. Tak seperti kami semua, dia masih memiliki rambut yang digelung rapi.
Maria mulai membagi tugas di antara kami. Aku dan belasan orang lainnya disuruh mengerjakan tugas pemeliharaan, di antaranya mencuci gelas-gelas bekas minum, menyapu dan mengepel bangunan barak perempuan, serta membersihkan kamar mandi. Pekerjaan ini sebenarnya cukup ringan, namun kondisi fisikku yang belum benar-benar baik membuat aku tak bisa melakukannya dengan baik. Tubuhku lemas, perutku melilit, pandanganku terus berputar, dan tanganku gemetaran.
Menjelang tengah hari, barulah bagian pekerjaanku selesai. Lalu lonceng penanda pukul dua belas dibunyikan dan para tawanan digiring kembali ke lapangan untuk makan siang. Aku bersyukur, makanan siang ini lebih baik, yakni kentang rebus dan seliter air putih. Sayangnya, aku termasuk dalam deretan yang paling belakang barisan, sehingga yang kudapat hanyalah kentang-kentang berukuran kecil. Karena aku teramat lapar, kuambil empat buah sekaligus.
Aku menyantap makanan sederhana itu pelan-pelan, berusaha menikmatinya. Tetapi, aku sangat lapar, sampai-sampai rasanya aku bisa makan seekor sapi sendirian. Sungguh, tiga buah kentang kecil sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan giziku. Akan tetapi, selagi aku makan, kulihat seorang anak perempuan yang lebih muda dariku berdiri di dekat meja dengan mimik bingung. Ia memandang keranjang kosong di meja dengan sedih dan kecewa. Gadis itu terlihat kurus dan menyedihkan. Perkiraanku, usianya barulah tiga belas atau empat belas tahun.
![](https://img.wattpad.com/cover/98448531-288-k193646.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Auschwitz In Memory [END]
Historical Fiction1941. Dunia kembali bergolak dan kamp-kamp konsentrasi di Jerman dan Polandia mulai dibangun. 1942. Sarah Ailbe dan Deryk Helmer harus berpisah. 2011. Deryk meninggal dunia dan meninggalkan kenangan-kenangannya kepada cucunya, Alarick, terma...