Vier: Kereta Sapi

1.6K 234 16
                                    

"Ke mana kita akan pergi?" Kuberanikan diri bertanya kepada salah seorang Gestapo, walaupun aku sudah menduga jawabannya.

"Ke suatu tempat," jawab lelaki itu dingin. "Sekarang bergabunglah ke barisan dan tutup mulutmu."

Aku terpaksa menurut. Bisa kurasakan kaki-kakiku mulai gemetar. Ketika pria-pria menyeramkan itu menyuruh kami berjalan, semakin besarlah kekhawatiran di hatiku. Kami tidak diizinkan untuk berbicara dan diharuskan bergerak dalam diam. Rupa-rupanya, kami tidak berjalan ke arah rumahku, melainkan melalui jalur lain yang langsung mengarah ke pusat kota. Aku mulai panik. Bagaimana dengan ayah dan ibuku, juga Emilie? Aku tak tahu apakah rumah kami akan dirazia atau tidak. Dan lebih dari itu, aku tak bisa memberitahu mereka bagaimana keadaanku di sini.

Aku pun memandang sekeliling, melihat ke kiri dan kanan. Terlintas niatan untuk melarikan diri dari barisan ini, lalu cepat-cepat pulang ke rumah.

"Sarah," seseorang memanggilku dengan bisikan. "Jangan melakukan hal bodoh. Mereka punya senapan."

Aku menoleh ke sosok yang berbicara padaku. Deryk, entah bagaimana kini sudah berada di sebelahku. Ia sendiri terdengar tegang walau mimik wajahnya tenang seperti air. Matanya menyiratkan peringatan padaku agar tidak berbuat nekat, seolah-olah dia tahu apa yang akan kuperbuat.

Benar, tampaknya kemungkinan untuk bisa kabur dari sini sangatlah kecil. Gestapo berjaga di kiri, kanan, depan, dan belakang barisan, memastikan tidak ada yang kabur atau melawan. Aku tidak akan menang menghadapi orang-orang itu. Aku terlalu kecil, sementara tubuh mereka tinggi besar bagaikan beruang. Alih-alih lolos, bisa-bisa aku ditembak di sini. Lagipula, meski aku pergi ke ujung duniapun mereka masih bisa menemukanku. Maka, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berharap keluargaku selamat.

Aku mengamati Gestapo memperlakukan kami dengan cara yang berbeda. Tawanan dewasa--seperti para guru kami--berjalan dengan tangan terikat ke belakang, sementara para remaja dibiarkan bebas. Beberapa kali, tanganku dan Deryk saling bersentuhan. Sesekali pula ia melirikku, memastikan bahwa aku baik-baik saja. Ketika matanya bertemu dengan pandanganku, aku menjawabnya dengan anggukan kecil, menyiratkan bahwa aku tak apa-apa.

Keringat mulai membasahi dahiku setelah berjalan beberapa kilometer. Perjalanan menuju 'suatu tempat' terasa sangat jauh dan membosankan, apalagi dilalui tanpa obrolan sama sekali. Akhirnya, kami berhenti di stasiun kota Wadowice. Selain Gestapo, ada tentara-tentara berseragam NAZI berjaga di setiap sudut stasiun.

Ada ratusan orang lain ikut berbaris di stasiun. Wanita, pria, dan anak-anak dipisahkan sebelum mereka dipaksa memasuki gerbong-gerbong tua. Oh, sungguh, kereta itu tidak layak bagi manusia. Biasanya, kereta itu digunakan untuk mengirim sapi, domba, ayam, atau kambing dari dan ke desa-desa di sekitar Wadowice.

Pada akhirnya, sesaat lagi tiba giliran kami untuk masuk kereta. Deryk menggenggam tanganku, sementara aku memandangnya dengan heran.

"Apa yang--"

"Jangan sampai kita terpisah," bisiknya sambil terus memandang ke depan.

Aku tidak menjawabnya lagi. Pria dan wanita dewasa dipisahkan dengan kami, para remaja. Aku, Deryk, dan teman-teman sekelasku disatukan dengan anak-anak berusia delapan hingga enam belas tahun. Aku sesaat ragu untuk masuk ke gerbong, benda itu sepertinya benar-benar kendaraan menuju neraka.

"Ayo, ayo, cepat masuk!" Tangan-tangan  besar nan kasar mendorongku serta Deryk masuk ke gerbong. Mau tidak mau, kami menurutinya.

Aku nyaris muntah ketika bau apak bercampur pesing memasuki hidungku. Gerbong itu betul-betul pengap, bau, dan panas. Ventilasinya sangat sedikit dan hanya ada satu pintu untuk keluar dan masuk. Aku dan Deryk duduk berimpitan di tengah-tengah gerbong, di lantai kayu yang licin dan kotor. Udara di sini sangat sedikit, maka aku bernapas pelan-pelan.

Auschwitz In Memory [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang