Five

38 5 0
                                    

Lex POV

Ini sudah 2 minggu setelah kepergian Tyler dan seminggu sejak Raph menciumku dengan tiba-tiba. Sejak saat itu, aku mulai menghindar dari Raph. Aku masih bingung dengan semua yang diucapkan Raph. Aku tak mungkin menerima Raph begitu saja. 

Hari ini, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah. Aku tak ingin ketinggalan pelajaranku lebih lama lagi sehingga aku memutuskan untuk mengakhiri kesedihanku dan melanjutkan kehidupanku.

Aku berjalan pelan di sepanjang koridor. Semua orang tampak ceria hari ini. Ada yang mengobrol, ada yang tertawa, dan ada juga yang sedang mencium kekasihnya. Tapi semua itu tampak sepi untukku tanpa adanya Tyler di sini. Aku melihat ke arah lokerku. Biasanya ada lelaki yang kucintai bersandar di lokerku itu. Dan aku akan lari ke arahnya dan menciumnya lekas. Tetapi sekarang semua telah berubah. Ia telah pergi. Meninggalkanku. Sendirian.

Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku. Aku harus belajar melupakannya. Ia telah pergi. Aku tak bisa terus-terusan tenggelam dalam bayangannya. Oh, ya Tuhan, kenapa ia melakukan ini semua?? Kenapa ia harus meninggalkan kenangan tentangnya bersamaku? Kenapa ia tak membawa itu semua??

Aku menarik napasku lalu menghembuskannya dengan berat. Aku berjalan ke arah lokerku lalu mengambil buku pelajaranku pagi ini. Saat aku menutup lokerku, tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang. Awalnya aku berniat untuk menamparnya tetapi aku menahan tanganku.

"Alexiss!! Akhirnya kau balik ke sekolah juga! Aku sangat merindukanmu.." teriak orang yang memelukku itu. Oh itu Lily. Sahabatku. Untung saja aku tidak jadi menamparnya.

Aku berbalik badan dan melihat dia dengan warna rambut barunya. Warna merah sangat cocok dengannya.

"Astaga, Tuhan! Ini kau sungguhan kan?" tanyanya sambil mengguncang pundakku.

Aku menganggat pundakku, "Kau bisa lihat sendiri." Lily tersenyum kecil, "Kau sudah membaik? Maafkan aku karena tak mengunjungimu sejak kepergian Tyler. Tugas dari Sir George membunuhku. Kau tau, aku harus mengulangi proyekku sebanyak 3 kali karena dia tidak menyukai font yang kugunakan. Dia bilang bahwa itu tidak sesuai prosedur. Benar-benar tak masuk akal. Ugh." curhat Lily.

Aku tersenyum kecil, "Tapi, kau menyukainya ,kan?" godaku. Lily memiliki ketertarikan dengan guru yang sudah berkepala 3 ini. Aku tak tau mengapa ia menyukai guru seni kami ini. Tetapi, ini lebih baik daripada saat kami berada di Middle School  dulu, saat itu ia menyukai guru bahasa Jerman yang umurnya sudah hampir mecapai 50 tahun. Lily bilang, lelaki dewasa itu hot, blablabla.

Lily tersenyum lebar seraya mengangguk, "Astaga, kau tau, kemarin itu aku pergi ke ruang musik sendiri dan di sana Michael memainkan biolanya. Ya, Tuhan, aku benar-benar jatuh cinta. Dia begitu seksi, Lex." ucapnya dengan antusias. Ya, dia memanggil Sir George dengan panggilan Michael -nama-depan-dari-George-. Ia memanggilnya Michael saat ia terpanah dengan sikap Sir George dan ia memanggil Si George jika ia sedang kesal dengan guru seni itu. Oh, astaga kisah cinta anak ini memang membingungkan.

Kami -lebih-tepatnya-hanya-Lily- bercerita tentang Sir George. Sampai akhirnya, bel berbunyi. Kami pun berpisah karena aku ada kelas yang berbeda pagi ini.

*****

Aku menunggu Lily sambil memakan makan siangku sendirian di bangku dekat taman sekolah. Aku menyumbat telingaku dengan earbuds, karena di sini sangat berisik. Tanpa kusadari, Raph sudah berada di sebelahku. Aku meliriknya sekilas.

"Hey, baby." sapanya dengan nada yang menjijikkan. 

Aku berusaha untuk tidak menjawabnya. 

"Jangan diam saja. Oh, apa Tyler tidak pernah memintamu untuk bersikap baik di depan orang lain? Oh, tenang saja, sayang, jika aku menjadi kekasih----"

"Jangan pernah kau mengucapkan kalimat itu lagi di depan Lex, kecuali kau ingin mandi dengan satu bak sup." ucap Lily yang tiba-tiba datang dan langsung menyiram Raph dengan satu mangkuk sup yang baru saja ia beli. 

Raph meringis karena sup itu masih sangat hangat, "Kau benar-benar gila." gumam Raph.

"Ya, aku memang gila, dan kau benar-benar brengsek." jawab Lily.

"Apa kau kehilangan akalmu? Jangan pernah kau berharap kau bisa mendapatkan Lex. Dia pantas mendapatkan seseorang yang sejuta kali lebih baik daripada kau. Berhentilah bermimpi, Raphael Gomez." ucap Lily lagi.

Raph lekas pergi setelah seluruh badannya basah karena sup yang ditumpahkan Lily tadi. Aku tersenyum kepada Lily, "Thanks." ucapku sambil memeluknya.

"Shussshh, tak perlu berterima kasih. Apa yang terjadi barusan, itu adalah kewajiban seorang sahabat." jawabnya sambil membalas pelukanku dengan erat.

Haloooo... I changed the cover and the title ofc im sorry but hope yall will like it, and im so sorry karena postnya dikit dikit. I will try to post a longer chapter in the future, xx 

IS IT LOVE IN YOUR EYES?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang