03. Melamun

124 42 39
                                    

Pelajaran olahraga yang sedang diisi oleh permainan futsal anak laki-laki kelas XII Bahasa nampaknya nggak menarik perhatian Citra. Perempuan itu lebih memilih menjauh dari kehebohan anak perempuan yang dengan brutal memberikan support dengan meneriaki nama Angelo a.k.a Jelo—sang kapten futsal sekolahnya.

Biasanya, Citra akan menjadi salah satu dari perempuan-perempuan brutal itu bersama dengan kedua sahabatnya, Syakila dan Ata. Tapi, karena merasa lelah sehabis melakukan pemanasan sebelum permainan futsal dimulai, sepertinya berteduh di bawah pohon jambu di samping mushola sekolah adalah pilihan yang tepat.

Sudah nggak terhitung berapa banyak rumput liar yang dicabuti Citra. Anak rambut—yang seperti biasa selalu mencuat keluar--sudah lepek menempel di sekitar dahinya karena keringat.

Meskipun tangan kanannya dengan lihai mencabut satu-persatu rumput liar di hadapannya, tatapan matanya justru terpaku pada satu titik. Converse hitam yang tetap terlihat kinclong meski sudah hampir 3 tahun nggak diganti.

Sebenarnya, ada alasan lain yang membuat Citra menyepi di bawah pohon jambu. Sesuatu yang beberapa jam terakhir hampir memenuhi isi kepalanya. Pras. Laki-laki yang tadi pagi menjadi partner-nya untuk menghitung luas lapangan upacara dengan mengandalkan jengkal tangan. 

Citra ingat betul wajah Pras yang memerah karena tersengat matahari, walaupun sebisa mungkin laki-laki itu tutupi dengan topi SMA yang dipakainya. Muka merah gitu aja kok dia tetep ganteng yak. Pake susuk model apaan tuh, gue pengen. 

BUK!

Citra tersentak kaget. Bola futsal yang tengah dimainkan Jelo dan lainnya menghantam keras pohon jambu tempatnya berteduh. Beruntung bola itu nggak menyentuh kulit Citra sedikitpun. "Jelo, kampret lo! Kalo kena gue gimana?"

"Sorry ya, Cit!" sahut laki-laki itu dengan cengiran lebar di bibirnya. "Nggak sengaja. Lagian lo ngapain semedi di sini?" lanjutnya seraya mengambil bola.

"Gue semedi minta awet muda biar kayak artis-artis korea gitu."

"Lebih baik lo langsung ke bedah plastik, minta muka lo dipermak pake kresek." Dengan sigap Citra mengambil salah satu rumput yang sudah ia cabut dan melemparnya tepat ke hadapan Jelo. Sementara yang dilempar hanya meringis sebelum akhirnya tertawa dan kembali ke lapangan.

"Sial, lo!" Citra mendengus sebal. Rumput-rumput liar yang tersisa di hadapannya dicabutnya dengan tidak berprikemanusiaan. Seenggaknya, itu mampu mengaburkan pikiran Citra tentang model susuk yang dipakai Pras.

BUK!

"Jelo!" Kali ini sesuatu benar-benar menghantam kepala Citra dengan keras. Tangan kirinya yang bebas segera mengelus bagian kepala yang mulai terasa nyeri.

"Sorry!" 

Itu bukan suara Jelo. Citra yakin suara Jelo nggak seberat dan seserak itu. Itu suara, Pras! Untuk memastikan dugaannya benar, dengan hati-hati kepalanya menoleh ke sumber suara. Itu memang Pras. Berdiri di depan mushola dengan ketiga temannya. Ngapain dia ke mushola, mau sholat? Kayaknya nggak mungkin.

"Yang lempar Pras," Suara laki-laki yang terdengar sedikit lembut itu menyadarkan Citra. Saat itulah Citra tahu bahwa sesuatu yang mendarat tepat di kepalanya beberapa detik lalu bukanlah bola kaki yang sedang dimainkan Jelo. Itu sepatu.

"'Kan udah gue bilang nggak usah main lempar-lemparan sepatu. Mau sholat aja pake main-main segala," lanjut laki-laki itu. Citra mengenali laki-laki dengan suara yang terdengar agak lembut tersebut. Namanya Byakta Agara, tapi anak-anak satu sekolah biasa memanggilnya Aga atau Aga-aga kecewekan karena sikapnya yang lumayan lenjeh

"Gue nggak sengaja. Sorry, ya?"

"Sepatu bau kecut aja pake dilempar-lempar," ujar Citra yang masih terlihat sibuk mengelus kepalanya.

Setelah mendengar pernyataan Citra barusan, Pras berjalan menghampiri Citra hingga menyisakan jarak setengah meter di antara keduanya. Sentak Citra menundukkan kepalanya sedikit karena merasa terintimidasi dengan tinggi badan Pras.

Melihat reaksi Citra seperti itu, Pras terkekeh pelan. Memaksa Citra mendongakkan kepalanya kembali untuk sekedar melihatnya langsung. Sedetik kemudian, Citra menyesal karena sudah melihat Pras terkekeh.

Ia baru menyadari satu hal, Pras mempunyai lesung pipi yang nggak terlalu dalam di pipi kirinya. Pras semakin terlihat, entahlah, Citra rasa makhluk yang tengah berdiri di hadapannya memang cocok dengan kalimat 'Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kau dustakan'.

"Itu sepatunya Oja, bukan sepatu gue. Kalo sepatu gue mah wangi."

"Pede banget, lo!" 

"Yaudah kalo nggak mau," kata Pras sebelum dirinya melakukan sesuatu yang nggak diduga Citra. Pras menyentuh kepala Citra lalu mengusapnya pelan. "Syukurlah rambut lo nggak kotor."

Menerima perlakuan seperti itu, jantung Citra mendadak berdetak lebih cepat. Aneh, harusnya Citra merasa biasa saja. Pras 'kan hanya seorang teman Citra, seperti Jelo.

Tunggu, sejak kapan mereka berteman. 

"Enyah lo dari hadapan gue!" bentak Citra, membuat Pras sontak menurunkan tangannya dari kepala perempuan itu.

"Ini juga gue mau pergi. Mau sholat biar bisa berdoa sama Allah supaya nggak ketemu lo lagi." dengan satu gerakan tangan Pras meraih sepatu Oja yang terjerembab di dekat rumput liar hasil panen Citra. "Astaghfirullah, kasihan ini rumput jadi botak akibat keganasan lo!"

Sebelum kena semprot lagi, Pras segera berlari ke arah teman-temannya yang sudah menunggu dan segera masuk ke area wudhu laki-laki.

***


Btw, i wanna say thanks buat yang udah mau luangin waktunya sebentar dan ngevote cerita ini.

Hehehe, ku terharu karena masih ada yang mau nengokin Pras;)

CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang