09. Luka

116 4 4
                                    

Pras baru saja akan melahap bulat-bulat bakso terakhir di mangkuknya sebelum dengan cepat Oza menuang tiga sendok sambal kedalamnya.

"Ja!" Pras terbelalak. Mulutnya terbuka lebar menatap kuah bakso yang tadinya berwarna pucat sekarang malah berubah menjadi merah disertai biji-biji cabai yang tampak mengambang.

Oza yang duduk di hadapannya lantas menyengir dengan kedua mata yang sengaja disipit-sipitkan.

"Ja! Ah, bangke banget!" Laki-laki dengan iris mata cokelat terang itu sontak melempar sendok yang digenggamnya dan langsung mengenai kepala Oza.

"Pras, anjir itu sendok bekas mulut lo!" protes Oza sambil mengusap-usap kepalanya.

"Lo bikin selera makan gue lenyap!"

"Jangan lebay! Itu cuma gue kasih dikit."

"Gigi lo gendut!" Pras membenci pedas. Itulah fakta yang diketahui ketiga temannya yang justru malah dimanfaatkan oleh Oza dan Tara untuk menjahili Pras. "Sekarang mangkok bakso gue udah kayak kolam renang cabe-cabean."

"Enak dong, Pras! Berenang sama cabe-cabean," celetuk Tara yang baru saja menyeruput habis es cendol milik Oza. Membuat Oza langsung menoyor kepalanya dengan berbagai sumpah serapah.

"Lo tuh paham nggak, sih, suapan terakhir dari makanan kita itu berkah. Itu berkahnya, Ja!" Lanjut Pras.

"Yang nyuruh lo ngebuang itu makanan siapa, Anak soleh? Buang-buang makanan itu dosa. Allah nggak suka. Entar itu pentol bakso minta pertanggungjawaban lo di akhirat, mau? Gue bertanggung jawab sama anak gadis orang aja rasanya belum siap, gimana tanggung jawab sama pentol bakso?"

Tangan kanan Tara yang iseng memainkan sedotan es cendol sontak menepuk jidat Oza sedikit keras. "Lo nyamain Maulina sama pentol bakso?"

"Kok, jadi bawa-bawa Ulin? Tunggu deh, lo nggak mikir Ulin udah gue apa-apain 'kan pas gue bilang belum siap tanggung jawab sama anak gadis orang?" Oza langsung menatap sengit dua anak manusia di hadapannya. Sementara yang ditatap malah melemparkan pandangan curiga.

"Guys, please! Gue nggak pernah apa-apain Ulin. Ulin masih fresh."

Tidak ada sahutan dari Pras mau pun Tara. Keduanya malah memperdalam kerutan di kening masing-masing.

"Gue serius. Ulin nggak pernah gue colek-colek. Paling gue cium."

Pletak!

Oza mendapat satu jitakan maut dari Pras.

"Tangannya, Pras! GUE CIUM TANGANNYA!!! Kejam banget lo!" Oza meringis kesakitan. Kedua telapak tangannya ia gunakan untuk menekan kepala bagian kiri bekas jitakan Pras.

🌵🌵🌵

"SEPULUH KALI???"

Perempuan berkaca mata dengan kardigan berwarna kuning cerah yang menutupi seragamnya itu melebarkan kedua matanya tatkala mendengar hukuman yang baru saja diberikan bu Lia.

"Bu, saya bukan mau kabur!"

"Kalau bukan mau kabur, terus buat apa kamu manjat tembok belakang sekolah di saat masih ada jam pelajaran?"

"Kan tadi saya udah bilang kalau saya mau nolongin kucing yang nggak bisa turun dari atas tembok. Saya nggak bohong, Bu. Tadi ibu liat sendiri 'kan saya pegang kucingnya?"

"Kalau mau tolong kucing kenapa sudah pakai kardigan? Dimana-mana pakai kardigan kalau mau ke mall, bukan di saat proses pembelajaran berlangsung."

"Bu, saya..."

"Sudah ketangkap basah masih mau bohong? Hukuman kamu mau ibu tambah?"

"Ja... jangan, Bu!"

"Kalau gitu jangan protes!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang