08. Tolong (2)

227 8 4
                                    

Kaki jenjang Pras menapaki lantai supermarket yang berada cukup jauh dari SMA Taruna. Pras sengaja mencari supermarket yang cukup jauh untuk menghindari jatuhnya harga diri yang ia miliki hanya karena membeli barang pesanan Citra. Tadinya ia mau membeli di kantin, tapi apa kata bu Dwi--penjaga koperasi sekolah--kalau tahu ia membeli itu.

Beberapa orang laki-laki dengan seragam serupa khas pegawai supermarket tersebut memerhatikan gerak-gerik Pras sejak kedatangannya beberapa menit lalu. Salahkan saja Pras yang sengaja memakai topi berwarna hitam--yang sengaja ia pakai untuk menutupi sebagian wajahnya--dengan tulisan motherfu*ker di bagian depan. Membuatnya tampak seperti orang yang pantas dicurigai.

Pras nggak peduli. Yang ia pikirkan saat ini adalah pembalut apa yang akan ia beli karena di hadapannya sekarang terpampang banyak merk dan jenis pembalut. Mati aja lo, Pras!

"Maaf, Mas, ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu pegawai supermarket yang sejak tadi memerhatikannya.

"Ehm, saya..." bagaimana Pras mengatakannya. Ini lebih sulit dari menghapal lagu Boria Suka-Suka Upin Ipin. "Saya mau beli... pembalut!" Siapa saja, tolong bungkus wajah Pras dengan kantong kresek atau karung beras!

"Oh, mas mau beli pembalut. Mau beli pembalut yang merk apa, Mas?" Pras bisa menangkap dengan jelas nada suara pegawai tersebut langsung berubah seperti seorang yang sedang menahan tawanya. Sial!

"Merk yang nggak pake bahan kimia," jawab Pras cepat. Pipinya yang ia sembunyikan di balik topi langsung menghangat menahan malu. Sebenarnya, Pras nggak tahu pembalut merk apa yang biasa Citra pakai. Tapi, rasanya bijak untuk membelikannya pembalut bebas bahan kimia, bebas pewarna, dan bebas pemanis buatan. Pras mulai ngaco.

"Ini, Mas. Merk ini paling banyak dibeli cewek-cewek karena terbuat dari bahan-bahan alami."

Kayak jamu, terbuat dari bahan-bahan alami, pikir Pras. "Yaudah, saya ambil satu."

"Mau yang ada sayapnya atau nggak, Mas?" Ya Allah, cobaan apa lagi ini?

"Yang nggak ada sayapnya." Kalo ada sayapnya nanti Citra terbang, gue yang repot.

"Yang siang atau yang malam?"

Pras mau pulang, ya Allah.

"Karena ini masih siang, saya beli yang malam."

***

Sepertinya, mendapat izin pulang cepat dari guru piket nggak berlaku untuk Pras hari ini. Hujan turun cukup deras tepat setelah Pras sampai di sekolah untuk memberikan barang pesanan Citra.

Sekarang Pras lebih memilih bersembunyi di dalam studio musik sekolah yang kedap suara karena tiba-tiba tetes-tetes hujan yang berhantaman langsung dengan genteng terdengar begitu menyakitkan. Pras cuma nggak mau udara dingin di luar memperparah sakitnya.

Ceklek,

Pintu studio musik perlahan terbuka. Menampilkan seorang perempuan berseragam SMA dengan jaket berwarna hitam terikat di pinggangnya yang ramping.

"Pras!" panggilnya pelan, tapi nggak ada sahutan dari laki-laki yang tengah duduk di pojok studio dengan kepala tertunduk.

"Pras!" panggilnya lagi. Perempuan itu berjalan menghampiri Pras. Mengambil tempat di samping Pras dan langsung memegang bahu laki-laki itu.

Sontak Pras mengangkat kepalanya dan langsung menemukan Citra di sampingnya.

"Muka lo pucat banget, Pras! Hidung lo juga merah gitu," kata Citra kaget. Wajahnya mendadak berubah khawatir. 

CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang