Gethuk Pemecah Dilema

100 5 2
                                    

Meskipun sempat lupa dengan sidang skripsi, Filia dapat melaluinya dengan lancar. Pasalnya ia telah mempersiapkannya leebih awal. Tidak ada kurang dalam presentasi yang ia sampaikan. Hanya saja satu menit menuju sidang, Filia menyadari bahwa ia ke kampus tidak mengenakan sepatu yang menjadi kewajiban. Ia hanya mengenakan sandal karena terburu-buru.
Sudah tidak ada waktu lagi jika harus kembali pulang atau membeli sepatu baru. Ia hanya dapat menyambar sepatu Faizah yang seukuran dengannya. "Pinjam dulu, ya." Tanpa perlu menunggu jawaban Faiza ia langsung memakai sepatu dan masuk ke dalam ruangan sidang. Lancar.
Selesai sidang skripsi, Filia langsung bergegas ke toilet yang ada di gedung sebelah. Pasalnya, toilet gedung fakultasnya tengah diperbaiki. Coba tebak, kenapa Filia ke toilet? "Cuci muka, BAB, BAK," sebagian banyak orang melakukan itu, tapi tidak untuk Filia. Ia rela berlari-lari pindah gedung, naik-turun tangga untuk melihat apa jerawat di keningnya sudah kempes apa belum?
ZONK.
"Jerawatnya belum kempes," gumamnya penuh kesedihan. "Jadi, selama ini aku tidak stress karena skripsi," Filia masih mengamati jerawat merah di kening yang membuatnya terlihat seperti orang India.
"Mungkin ini karena ..."

***

"Sudah lah, kamu kerja di kantor aja," saran si Bapak.
"Di kantor itu nggak enak. Nanti malah tak tinggal tidur. Bosen kerja di kantor."
"Jadi guru aja," Emak juga mengusulkan.
"Iya, ya. Nanti kalau marah aku bisa ngikat mereka pakai rantai."
"Sadis bener."
"Kerja di dalam ruangan itu nggak enak. Pokoknya aku mau jadi tour guide."
"Jadi tour guide gajinya nggak tetap lo," bapak Filia membumbuhi.
"Ya sudah. Nggak perlu kerja. Enak tidur," Filia melenggang pergi menuju rumah Mbah Uti yang hanya berjarak tiga meter dari pintu rumahnya. Tidak lain di depan rumahnya sendiri.
Ia mencari Mbah Uti yang sedang membuat gethuk lindri pesanan tetangga untuk dihidangkan di acara arisan sore ini. Gethuk Mbah Uti sudah menjadi idola di komplek. Semua gethuk pesanan Mbah Uti sendiri yang membuatnya, yang lain lewat. Selain rasanya mantab, harganya pun murah. Bisa delivery pula tanpa ongkir.
Filia memerhatikan Mbah Uti. Ia begitu menghayati proses menggiling singkok yang telah dikukus. Alat penggilingannya dari besi tua itu bukan alat biasa. Itu sudah ada sejak pertama kali Mbah Uti membuat gethuk lindri. Penggiling itu sangat setia, sesetia Romi dan Julehah.
Tak ingin mengganggu Mbah Uti, Filia hanya duduk sambil menunggu Mbah Uti selesai menggiling. Namun hanya duduk dan diam menunggu terasa lama. Agar tidak bosan, Filia membantu Mbah Uti menyicipi gethuk hasil gilingan.
"Enak, Mbah."
"Enak si enak. Tapi kalau dimakan terus nanti habis, Cah Ayu," sindir Mbah Uti yang dari tadi mengawasi Filia menghabiskan gethuk. Menyadari ia disindir, Filia pun tak lagi menyentuh gethuk Mbah Uti.
Setelah satu jam menunggu, akhirnya Mbah Uti selesai membuat gethuk pesanan. Filia langsung buru-buru menghampiri Mbah Uti untuk meminta pendapat. Untuk memulainya, Filia terlebih dulu curhat tentang dilema yang ia rasakan.
"Dari pada bingung, kamu jadi asisten Mbah saja buat gethuk," Mbah Uti memberikan saran yang justru membuat Filia semakin mengalami dilema.
"Jangan terlalu dipusingkan. Ini, makan saja gethuk lindri Mbah," Mbah Uti memberikan kelebihan gethuk pesanan dan mulai bercerita.
"Dilemamu ini nggak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dilema Mbah. Kamu sudah sarjana, berpendidikan, tentu tahu apa yang baik dan tidak. Jalani saja apa yang membuatmu nyaman. Niatkan lillahi taalla. Kalau kamu nggak nyaman nantinya dengan pekerjaanmu, kamu bisa mundur," Mbah Uti menyuapi Filia dengan gethuk. "Itu kalau dilema tentang pekerjaan. Kalau dulu, jaman Mbah muda, dilema terbesar adalah memilih suami.
Dulu ada sepuluh laki-laki yang ngelamar Mbah. Ada anak lurah, camat, dusun, RW, RT, kepala sekolah, macam-macam pokoknya. Mereka juga ganteng-ganteng. Kalau sekarang mungkin bisa ganti-ganti pacar, kalau dulu harus menentukan langsung, nggak boleh pacaran. Kalau kamu jadi Mbah, kamu milih anak siapa?" Filia mulai berpikir keras. Belum selesai ia menemukan jawaban karena dilemanya, sekarang ia harus memikirkan jawaban atas pertanyaan Mbah Uti.
"Kamu bingung, kan? Semakin dilema? Mbah Uti juga. Dari pada dilema, Mbah Uti pergi ke pasar beli gethuk lindri. Nongkrong lama di pasar makan gethuk. Setelah gethuk ke tujuh belas, eh Mbah Kakungmu yang tidak lain si penjual gethuk itu langsung melamar Mbah Uti. Mbah Kakungmu nggak janji yang neko-neko seperti yang lain. Ia Cuma janji untuk terus jualan gethuk untuk bisa nafkahi Mbah Uti. Terus Mbah Uti dilamar dengan gethuk lindri." Mbah Uti mengawang bernostalgia dengan kenangan masa mudanya. Ia bercerita dan tersenyum sendiri. Sedangkan cucunya terus makan gethuk hingga habis tak tersisa. Jika tidak disisihkan, gethuk pesanan pun juga dihabiskan.
Setelah kenyang dengan gethuk lindri, Filia merebahkan tubuhnya. Ia kembali mencari lowongan pekerjaan. Di sebuah situs lowongan kerja Filia mendapati sebuah pekerjaan yang belum pernah ia dengar sebelumnya, Pembina Sentra. Jika dilihat dari deskripsi pekerjaannya, pembina sentra adalah seseorang yang membantu masyarakat kecil untuk dapat membuka sebuah usaha mikro. Dengan kata lain, meski bagian dari karyawan bank, Filia tidak harus ngantor dan dapat terjun langsung dengan masyarakat. Pekerjaan ini hanya ada di Bank Merdeka.
"Pak, Filia coba melamar di sini. Ini gaji tetap," Filia menunjukan lowongan yang ia baca. "Jadi karyawan bank juga, Mak."
"Wah, iya. Coba deh, siapa tahu rejeki."
"Itu syaratnya kamu masuk semua." Emak dan Bapak sependapat kali ini. Tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi.
Filia senang karena ia tidak lagi perlu dilema. Apa yang dialaminya hampir sama dengan yang pernah dialami Mbah Uti. Mungkin benar kata, Mbah. Gethuk lindri bisa menghilangkan dilema, pikirnya.
Sejak saat itu, Filia semakin menyukai gethuk lindri Mbah Uti. Di dalam brand gethuk lindri Mbah Uti, Filia memberikan tambahan sentuhan. Ia menuliskan, GETHUK LINDRI MBAH UTI: ENAK, SEHAT, MURAH, DAN DAPAT MEMECAHKAN SEGALA DILEMA.

Dua OtakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang