Adzan shubuh berkumandang dan langit masih berwarna gelap, itu sih kata pujangga. Namun kenyatannya shubuh sudah lewat 30 menit lalu dan Wela Lee baru saja bangun.
"Lho, sudah bangun?" Mami sibuk menggoreng tahu untuk sarapan. "Mami kira tadi pingsan."
"Kok nggak dibangunkan, Mam?"
"Nggak dibangunkan?" Mami berhenti menggoreng sejenak. "Kamu nggak ngrasa itu baju kamu basah karena Mami siram?" Wella Lee meraba badannya. Pakaiannya basah kuyup, begitu juga rambutnya sudah lepek.
"Oh, kalau begitu Wella Lee nggak perlu mandi lagi. Sekarang bisa ganti baju, sholat, terus berangkat," Wella Lee tersenyum sumringah. Ia sangat senang tidak harus mandi lagi, ada kebanggaan tersendiri yang menggugah rasa percayadirinya saat tidak mandi.
Kemeja coklat, rok hitam, kerudung coklat dikenakannya rapi. Berulang kali ia menghadap cermin di kamar, setidaknya satu menit satu kali. Sekali menyendok makanan, Wella Lee kembali ke kamar untuk becermin hingga Mami yang memerhatikannya merasa lelah karena bola matanya mengikuti pergerakan Wella Lee.
Hingga suapan terakhir Wella kembali lagi. Kali ini ia sudah megenakan sepatu high heels sepuluh senti—senjata ampuh permpuan agar lebih percaya diri. Wella berjalan ala model menuju cermin di dalam kamar. Ia sudah berniat ini terakhir ia bercermin dan akan langsung berangkat bekerja. Namun setelah sampai di dalam kamar, pupuslah niatnya itu.
"Lho, cerminnya kok menghilang?" Wella Lee terduduk lesu. "Belum sempat aku melihat wajahku untuk terakhir kalinya, dan sekarang cerminku menghilang." Di depan meja Mami hanya melihat anaknya sambil makan tempe yang gosong karena ditinggal mengambil cermin Wella Lee.
"Kasihan Wella Lee, karena terlalu tertekan ia hingga seperti ini. Ya Allah, semoga anakku bisa kembali waras."
"Wella Lee masih waras, Mam!"
"Terus kenapa juga riwa-riwi ngaca? Mami pusing lihatnya. Mami sudh bilang kamu sudah rapi, kok nggak percaya?"
"Wella Lee percaya, Mami."
"Terus kenapa kamu masih ngaca terus? Bajumu kan nggak ganti."
"Bukan karena penampilan atau baju Wella Lee, Mam," Wella semakin tertunduk. Ia khawatir Mami lebih khawatir lagi setelah mendengar alasanya. "Wella takut wajah Wella berubah, tidak mirip foto. Kalau nggak mirip di Foto nanti Wella nggak boleh kerja, dikira nipu, Mam."
"Emang kamu oprasi ember sampe wajahnya berubah?" Mami semakin khawatir, takut-takut Wella benar-benar tertekan. "Ya Allah, Nduk. Kalau belum siap kerja, jangan dipikir keras ya. Kalau kamu belum siap kerja, nggak apa-apa, tapi jangan sampai buat kamu sampai stress seperti ini."
Perdebatan Mami dan anak itu mengundang pehatian Pae. Ia meletakkan korannya dan menghampiri Mami dan Wella. "Kenapa berdebat?"
"Berangkatlah, Nak. Bawa restu Mami dan Pae. Semoga sukses dalam perantauan," begitu meneduhkannya pesan Pae hingga terharu Wella yang mendengarnya. Makan berangkatlah Wella menuju tempat kerjanya yang hanya berjarak 3 KM saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Otak
HumorPekerjaan pertama menjadi suatu momen penting bagi setiap orang. Ia kan menjadi batu lonjakan untuk kehidupan selanjutnya. Namun pekerjaan pertama Filia bukanlah pekerjaan biasa yang pernah ia pikirkan selama ini. Meskipun begitu, dari pekerjaan ini...