Tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Boy. Aku seringkali datang ke apartemennya membawa Selly dan Dio. Tak peduli dia ada atau tidak di lokasi.
Berulang kali Boy mencegah agar aku tak terlalu sering datang berkunjung. Namun tak kuhiraukan. Tujuanku belum tercapai, yaitu mengambil kembali hati Boy. Untuk itu masih saja terus mendekatinya. Meski penolakan demi penolakan telah kuterima. Tak tahu malu. Mungkin itu kalimat yang cocok untukku.
***
Hari itu aku datang. Namun Boy tidak ada di tempat. Selly merengek untuk tidak ingin langsung kembali pulang. Akhirnya menemani mereka bermain di taman apartemen tempat Boy tinggal. Sekitar tiga puluh menit menemani mereka. Dari kejauhan terlihat Boy berjalan dengan seorang pria. Berjalan sambil berbincang. Mereka tampak sangat akrab. Sesekali pria itu merangkul pundak Boy.
Melihat pemandangan itu. Darahku seakan mendidih. Siapa pria itu? Apa hubungannya dengan Boy? Apakah Boy sudah normal dan berpacaran dengan seorang pria? Segala macam pertanyaan berkecamuk dibenak.
Ingin sekali menghampirinya dan langsung bertanya. Namun tertahan oleh rasa ragu. Akhirnya meminta Selly untuk menghampiri mereka."Tanteee ...," teriak Selly berlari kearah Boy.
Dia tampak terkejut melihat kehadira Selly. Kemudian menoleh ke sekeliling. Mungkin mencariku. Masih hanya mengamatinya dari kejauhan.
"Kamu sama siapa?"
"Sama Mamah, Tante lama banget datangnya."
"Mana Mamah?"
"Di sana," ucap Selly sambil menunjuk kearahku.
Boy melihatku dan berjalan menghampiri bersama pria yang bersamanya. Hanya terdiam dan berusaha bersikap biasa. Meski menahan rasa sebal yang luar biasa.
"Udah lama?"
"Lumayan."
"Kenalin, ini Leo."
"Hai ...."
Menyambut jabat tangannya, tapi tidak mampu menutupi rasa kesal. Raut wajah tertekuk. Hingga menerima jabat tangan pun tak menyebutkan nama. Boy terlihat paham dengan gelagatku. Hingga dia berusaha mencairkan suasana.
"Ini, Dara ... teman SMA."
"Ooh ... teman SMA. Ini ya Dara, iya tau ... tau ...."
Tiba-tiba saja Boy dan Leo saling berpandangan. Saling tersenyum. Membuatku semakin kesal melihat kedekatan mereka. Beberapa kali Leo beramah-tamah. Hanya kutimpali dengan senyum seadanya. Masih tidak bisa menyembunyikan rasa kesal.
"Yuk, naik aja," ajak Boy.
"Ga usah, udah mau pulang."
"Loh kok pulang? Kan baru ketemu. Ni Merry baru dateng," ucap Leo.
"Ga mau masuk?" Boy memperjelas.
Tiba-tiba saja bersikap ketus, "Kan udah ada yang nemenin."
"Ya udah, ga apa kalo mau pulang," ucap Boy.
Mendengarnya membuatku merasa semakin kesal karena ucapannya itu seakan tidak menginginkan kehadiranku.
"Kamu nyuruh aku pulang?!"
"Loh, kan kamu yang mau pulang."
"Iya! Tapi kan harusnya ...."
"Udahlah, terserah mau pulang apa enggak."
"Terserah?!"
"Lah, terus apa?"
Leo menengahi, "Udah ... udah. Yuk ke atas yuk. Ayo Dara, kita belum ngobrol-ngobrol banyak nih."