'Dear Dara,
Teringat saat pertama kali berjumpa denganmu. Kau duduk merenung seorang diri di kursi taman sekolah. Dari kejauhan kuamati. Gadis manis yang tampak dirundung kesedihan. Awalnya tak berniat mendekat. Namun ketika melihat gelagat tangis. Kemudian disusul airmata yang mulai membasahi pipi. Aku tak tahan ingin menghampiri. Kau pun menangis dipelukanku.
Saat itu, entah mengapa aku merasa ingin melindungimu. Hingga beberapa hari setelahnya. Terus kuamati gerak-gerikmu. Meski dari kejauhan. Aku mengawasimu.
Kau sering merenung. Entah apa yang menjadi masalahmu kala itu. Hingga membuatmu selalu tampak sendu. Ingin rasanya melihat sekelebat senyum dari wajah manis itu. Namun tak tahu caranya. Jujur saja, pertama kali aku merasa malu berhadapan dengan seseorang. Itu dihadapanmu.
***
Masih ingatkah kau? Saat bertemu di bioskop bertahun lalu. Sungguh dibuat bingung oleh sikapmu. Aku yang semula merasa begitu senang saat tahu akan nonton bersama denganmu. Tak sesuai harapan. Ternyata sikapmu begitu ketus.
Sengaja duduk disebelahmu. Berusaha mencairkan suasana. Namun kau tak menyambut baik. Bahkan semakin merasa tak nyaman. Terkejut ketika kau putuskan untuk keluar teater.
Ingin segera mengetahui alasan dibalik sikap ketus itu. Aku pun menyusulmu. Sungguh di luar dugaan. Ternyata kau begitu kecewa atas penampilanku. Entah rasa senang atau sedih yang dominan. Merasa senang karena ternyata kau pun tertarik denganku. Sedihnya, maaf aku mengecewakanmu. Sama sekali tak berniat menipu siapapun dengan penampilan ini.
***
Hari demi hari kita semakin dekat. Aku pun mulai merasa takut. Takut bila ini adalah sebuah kesalahan. Kedua sahabatku, Mawar dan Sonia begitu keras mengingatkan untuk menjauhimu. Sempat mencoba mengikuti nasehat mereka. Mawar dengan segala alasan logisnya, serta Sonia dengan menyampaikan efek baik buruk yang mungkin kudapatkan. Namun tak bisa. Aku terlalu mengkhawatirkan keadaanmu. Bagaimana kau tanpaku. Takut bila kau kembali merasa sedih sendiri. Nyatanya benar dugaanku. Ketika kuabaikkan. Kau membali terlihat terus merenung.
Kau dengan segala sifat menyenangkan maupun menyebalkan. Begitu membuatku bersemangat menjalani hidup. Aku suka tiap gelagatmu.
Peristiwa yang tak akan kulupa. Betapa menggemaskannya tingkahmu. Saat menyusul ke club malam. Hanya karena ingin tampak keren. Taukah kau? Wajah manismu yang tertutup polesan tampak seperti badut. Tak mampu menahan tawa tiap kali mengingatnya. Lucunya dirimu.
Lalu, ketika menghapus riasan itu. Menatap wajahmu yang tersinari lampu kendaraan berlalu lalang. Cemberut di wajahmu begitu manis dan menggemaskan. Seolah enggan berhenti menatapnya.
***
Aku heran, gadis selugu dirimu. Mengapa terus saja memancingku untuk bertindak. Kadang hati ini menyalahkanmu. Ingat ketika pertama kali ku menciummu? Kau yang memancing. Telah berusaha menghindari agar tak terjadi. Namun terus saja seolah memaksaku melakukannya. Hingga timbul rasa bersalah yang begitu besar.
Kau mungkin sempat bertanya-tanya. Mengapa aku begitu menghindarimu kala itu. Rasa bersalah dan keinginan bersama begitu bercampur aduk di benakku. Terus mencoba untuk menjauh. Namun akhirnya kembali lagi. Bahkan kita melakukan hal yang lebih terlarang. Tak kuasa menahan godaan yang menyertai tiap kali berada di dekatmu.
***
Sampai detik ini mungkin kau masih bertanya-tanya. Alasanku menjadi seorang lesbian. Selama ini tak pernah kujawab. Memang merasa tak nyaman menceritakannya. Terlebih padamu. Hanya Mawar dan Sonia yang mengetahui.
Saat kecil aku tinggal bersama ibu. Belum pernah kukatakan padamu bagaimana latar belakang keluargaku. Ayahku yang berkewarganegaraan asing meninggal sejak aku masih kecil. Setelah ayah meninggal. Ibu yang terbiasa bergantung pada ayah mulai kalut. Bingung bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mendesak.