Satu minggu lebih terkurung di kamar. Segala akses komunikasi diputus. Bukan lantas menyesal kemudian melupakan. Aku malah semakin memikirkan dan begitu merindu. Tak henti-hentinya menangis. Teramat ingin memeluk Boy saat ini.
Ayah masuk ke kamar. Mengambil kursi belajar dan duduk dihadapanku yang sedang bersandar di tepian ranjang.
"Dara, maafkan Ayah."
Hanya diam mematung, tak mempedulikan kehadirannya.
"Ayah melakukan ini demi kebaikanmu."
Masih tak memberi respon.
"Hubunganmu dengan anak itu jelas-jelas salah. Kalau saja kamu pacaran dengan laki-laki pasti Ayah ga melarang. Itu wajar. Tapi dengan anak itu ... itu sangat salah Dara."
"Iya, memang salah! Dan kesalahan itu karena apa? Karena Ayah!"
Mendengarku bicara dengan nada tinggi, ayah terdiam dan mununduk. Tampak raut sedih dari wajahnya.
"Maafkan Ayah. Ayah telah egois. Mengabaikan kamu demi kebahagiaan sendiri. Ayah menyesal ini semua terjadi."
Airmata menetes dipipinya. Sambil terus berkata-kata dia menangis. Menggenggam tanganku, "Maafkan Ayah, Dara."
Melihat ayah yang tak seperti biasanya. kesedihan begitu terpancar dari raut wajah serta sikapnya. Kini dia tampak begitu menyesal. Aku pun tak kuasa untuk terus berucap menyalahkannya atas apa yang terjadi padaku setelah dia memutuskan untuk menikah lagi. Aku sadar, tak ada yang dapat disesali. Semua sudah berlalu dan inilah aku saat ini. Yang telah terjerumus dalam kesalahan fatal. Sulit untuk keluar.
"Dara, meski kamu sudah terlanjur mencintainya. Ayah mohon, cobalah melupakannya."
"Izinkan aku menemuinya."
Mendengar ucapanku tiba-tiba saja ayah beranjak.
"Sadar Dara! Akan ayah lakukan apapun permintaan kamu. Asal kamu berhenti menjalin hubungan dengan anak itu."
Suaraku kembali meninggi. Diiringi isak tangis, "Aku mencintainya Ayah. Aku sangat mencintainya."
"Kalo kamu masih tetap seperti itu. Ayah tetap kurung kamu sampai kamu sadar."
"Aku ga peduli!"
"Dara, Ayah mohon ...."
"Coba ayah pikir. Kami dulu juga menentang pernikahan Ayah dengan Eva. Apa Ayah mendengarkan permohonan kami saat itu?! Ayah boleh egois, tapi aku ga boleh. Kenapa begitu?!"
Ayah yang semula mencoba bicara baik-baik untuk menasehati. Tak juga berhasil. Aku bersikeras mengatakan masih mencintai Boy. Akhirnya dia tetap tak mengizinkan keluar kamar.
***
Hampir satu bulan hanya berdiam di rumah. Meski telah diizinkan keluar kamar, tapi belum juga diberi akses keluar rumah. Ponsel masih disitanya serta tak diberi uang sepeserpun. Ayah jadi sering berada di rumah untuk mengawasi. Seolah terpenjara dalam rumah sendiri. Ruang gerakku begitu terbatas.
Suatu hari ada hal yang mengharuskan ayah pergi ke luar kota selama beberapa hari. Saat itulah kesempatanku untuk keluar rumah. Ayah meminta ibu tiriku untuk terus mengawasi. Namun dia lebih memihak padaku. Hingga mau mengizinkan keluar rumah tanpa sepengetahuan ayah.
Selagi ada kesempatan, bergegas pergi untuk menemui Boy. Langsung saja menuju kostnya. Penuh harap ingin segera kembali bertemu dengannya. Setiba di sana, beberapa kali mengetuk pintu kamar kostnya. Tak ada jawaban. Hingga salah seorang teman kostnya menegur.
"Cari Boy?"
"Iya, apa lagi ke kampus ya?"
"Boy udah pindah. Dari beberapa minggu lalu."
"Pindah? Kemana?"
"Ga tau. Ga bilang dia. Buru-buru juga sih waktu itu."
"Gitu ya."
"Iya, coba aja tanya sama temen kampusnya."
"Iya."
Sebelumnya, seringkali dia mengaku begitu nyaman tinggal di sini. Selain dekat dengan kampus. Dia pun sudah dekat dengan teman-teman kostnya. Mengapa tiba-tiba saja memutuskan untuk pindah? Bahkan tanpa memberitahuku terlebih dahulu.
***
Memutuskankan mencarinya ke kampus. Langsung menuju fakultas teknik jurusan yang Boy ambil. Mencari tahu ke beberapa orang teman kuduga mungkin mengetahui dimana dia berada. Beberapa orang kutanya. Namun tak seorangpun mengetahui keberadaannya. Bahkan teman-temannya mengaku kehilangan dia juga. Sudah beberapa minggu Boy tak datang ke kampus. Bahkan tanpa memberi kabar apapun ke siapapun.
Semakin bingung memikirkan kemana Boy pergi. Mengapa dia menghilang begitu saja. Seharian berkeliling, tak juga mendapat informasi mengenai keberadaan Boy. Hingga kuputuskan untuk pulang.
Esoknya kembali mencari informasi, kali itu aku menemui Mawar. Mungkin saja dia mengetahui sesuatu tentangnya.
"Kamu tau sesuatu tentang Boy? Dia ga ada kabar. Kata temen-temennya juga ga masuk kuliah."
"Hmm ...."
Ekspresi wajah Mawar seolah mengetahui sesuatu. Tak seperti teman-teman Boy yang sebelumnya lebih dulu kutanyai.
"Mawar, kamu tau sesuatu? Dimana Boy?"
"Dara, sebaiknya lu lupain Boy."
"Apa?"
"Itu pesan terakhirnya sebelum pergi."
"Pesan terakhir? Emang dia kemana?"
"Dia ga akan muncul di hadapan lu lagi."
"Maksud kamu apa? Boy kemana?"
"Dia pergi ke luar negri. Memutuskan untuk tinggal bersama orang tuanya."
Airmata mendadak menetes, "Apa? Kenapa? Kenapa dia ga bilang apa-apa?"
"Dia melakukan itu bukan karena tega sama lu, tapi karena menghormati permintaan orang tua lu."
Airmata semakin deras turun, "Tapi ... tapi kenapa? Kenapa dia ga bilang?"
"Emangnya kalo bilang lu pasti kasih izin? Pasti mencegah kan?"
"Mawar ... ini bohong kan? Boy ... Boy dimana?"
Mawar tak berucap apapun lagi. Dia hanya menyaksikanku meluapkan kesedihan. Airmata tak henti-hentinya turun. Pikiran begitu kalut saat itu. Kepala sakit. Mulai berkunang-kunang. Hingga jatuh pingsan.
***
Tersadar berada di kamar tidurku.
"Dara, kamu udah sadar?"
Masih tak tahu apa yang baru saja terjadi. Namun yang kurasakan airmata masih saja ingin terus menetes.
"Tadi temanmu perempuan, katanya namanya Mawar. Ngantar kamu pulang."
"Boy ... Boy pergi ... Boy pergi kemana?"
Kembali lagi airmata bagaikan hujan yang turun dengan derasnya membasahi pipi.
"Boy ... Boy ...."
Ibu tiriku mendekap erat, "Sabar ya. Mungkin ini memang udah jalannya kalian harus berpisah."
"Aku ga mau Va, aku ga mau. Aku mau Boy. Boy ku dimana? Boyyy ...."
Beberapa bulan aku bagaikan orang gila. Tiap hari menyebut-nyebut nama Boy. Hingga ayah membawa ke psikiater untuk menerima penanganan medis.
Sedetikpun tak mampu kusingkirkan kenangan tentang dirinya. Senyumnya yang selalu hangat terus saja terbayang-bayang. Sentuhan lembutnya, dekapan hangatnya masih saja terasa disekujur tubuhku. Aku tak mampu menyingkirkannya begitu saja.
***
Kuliah terhambat. Tak menyelesaikan beberapa mata kuliah karena selama beberapa bulan ke belakang aku sama sekali tak keluar rumah. Meski kondisi fisik maupun psikis perlahan membaik. Mulai mau melakukan berbagai aktifitas. Namun aku begitu enggan untuk keluar rumah.
Dukungan ibu tiriku begitu besar. Dia terus mendampingi saat berusaha melupakan Boy. Banyak kegiatan yang kami lakukan bersama. Kami pun semakin akrab.
Ibuku sendiri, setelah mengetahui aku menjalin cinta dengan sesame jenis. Tak banyak berkomentar. Bahkan dia menyerahkan segala urusan tentangku kepada ayah. Aku pun tak peduli lagi. Sudah sejak lama pasrah akan sikapnya yang memang mungkin telah melupakan bahwa aku adalah anaknya. Bahkan kini ibu tiri lebih baik dari ibu kandung sendiri.
Hari itu ayah pulang bersama seorang rekan kerjanya. Seorang pria dewasa sekitar tiga puluh tahunan. Dia memperkenalkannya padaku.
"Dara, ini rekan ayah. Ardi, eksekutif muda, dan masih single," ucap ayah memperkenalkan sambil meledek.
"Ahh ... bisa aja."
Aku hanya merespon candaan mereka dengan senyuman.
"Hai Dara, saya Ardi," ucapnya sambil menjulurkan tangan disertai senyum ramah.
Menjabat tangannya, "Dara," jawabku singkat.
"Kamu kuliah semester berapa sekarang?"
"Lagi ga jalan."
Mendengar jawabanku yang tak bersahabat, ayah berusaha mengimbangi.
"Kemarin-kemarin dia sempat sakit. Jadi kuliahnya berhenti dulu," penjelasan ayah.
"Oo, gitu ya."
"Ardi ni pintar, kamu bisa tanya macam-macam pelajaran sama dia. Ya kan Ar?"
"Oo ... iya ... iya bisa banget. Mas Ardi bisa bantu kamu semampunya."
Masih hanya meresponnya dengan senyum simpul. Meski pria yang dikenalkan ayah ini terbilang lumayan tampan. Bersih dan terlihat berada. Namun sama sekali tak memicu rasa ketertarikanku padanya.
Perbincangan lebih banyak di dominasi oleh ayah. Hingga hari telah larut. Mas Ardi pun berpamitan. Dia berencana akan datang lagi untuk menemuiku. Ayah pun mengizinkannya.
Ayah tampak sangat menyukai pria ini. Mungkin juga sedang menjodohkannya denganku. Aku tak mau ambil pusing. Kurang peduli dengan apa yang akan terjadi dengan kehidupanku ke depan. Tak ada lagi semangat seperti ketika ada Boy di sisi.
***
Benar dugaanku, ayah berniat keras menjodohkanku dengannya. Meski beberapa kali berjumpa kutunjukkan raut tak rama serta cenderung ketus. Entah mengapa Mas Ardi seolah tak masalah dengan sikapku. Itu juga yang menjadi salah satu pemikiran ayah. Menurutnya, dia adalah seorang pria yang dewasa, dan sangat penyabar. Mungkin akan mampu menghadapi sifatku yang manja dan keras kepala.
Sejak dikenalkannya Mas Ardi padaku, hampir tiap hari ayah menyebutkan berbagai hal baik tentangnya. Ayah mengatakan hidupku akan terjamin bila menikah dengannya. Karir yang bagus serta perilaku seorang pria yang baik. Calon suami yang tepat untukku.
Beberapa bulan perkenalan dengan Mas Ardi, memang benar seperti apa yang ayah katakan. Pria ini begitu penyabar dan pengertian menghadapi sifat yang terkadang kekanakan, manja, dan keras kepala. Dia tak henti melimpahkan perhatian meski seringkali ucapanku ketus padanya.
Entah kami berpacaran atau tidak. Mas Ardi sering mengatakan bahwa dia sayang padaku. Namun terus saja kuabaikan. Hingga membuatku penasaran dibuatnya. Mengapa dia begitu sabar menangani sifatku.
"Mas, kamu kenapa sih? Udah dijudesin juga masih aja mau nempel-nempel?"
"Hmm ... gimana ya."
"Disuruh Ayah ya?"
"Emm ... iya juga sih?"
"Apa? Beneran disuruh Ayah? Kenapa mau? Kamu kan bukan bawahannya."
"Ayahmu itu dulu pernah nolongin Mas. Mas Ardi sampai bisa sesukses sekarang ga lepas dari bantuan Ayahmu."
"Tapi ga lantas harus hutang budi gitu dong. Masa Ayah nagih?"
"Ga nagih kok. Ini kemauan Mas sendiri. Lagipulaaa ...."
"Apa?"
"Kamu manis sih," ucapnya menggoda.
Melihat gelagatnya yang mulai menggoda. Menghentikan pembicaraan serius yang ingin kubahas.
"Meski sifat kamu nyebelin, tapi Mas berdoa terus."
"Berdoa? Buat apa?"
"Biar kamu membuka pintu hati untuk Mas," ucapnya tersenyum ramah.
Terbersit dipikiran, apakah Mas Ardi mengetahui aku pernah menjalani hubungan sesama jenis. Ingin bertanya. Namun kuurungkan niat. Takut salah bertindak. Merasa sebaiknya kutanyakan kepada ayah terlebih dahulu untuk mengetahui hal itu. Seandainya dia belum tahu, lalu kutanyakan. Mungkin akan menimbulkan kecurigaan hingga hubungan yang telah terjalin baik akan hancur.
Benar saja, saat kutanyakan pada ayah. Dia dengan tegas meminta agar jangan sekalipun menyebut bahwa aku pernah menjalin hubungan sesama jenis pada Mas Ardi. Aku pun menuruti permintaan ayah. Mungkin memang ayah memikirkan yang terbaik.
***
Meski ayah terus memaksa agar hubunganku dengan Mas Ardi segera berlanjut ke pernikahan. Terus saja menolaknya. Beralasan ingin menyelesaikan kuliah. Hingga dua tahun lamanya Mas Ardi menunggu aku lulus kuliah. Masih juga aku menghindar. Meminta waktu agar memiliki kesempatan mengejar karir terlebih dahulu. Namun apalah daya, nilai-nilaiku begitu buruk. IPK di bawah rata-rata. Hingga mempersulit mendapat pekerjaan yang kuinginkan.
Mencoba melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan. Namun belum juga memperoleh pekerjaan yang cocok. Adapun perusahaan yang menerimaku hanya perusahaan biasa dengan job desk pekerjaan yang alakadarnya dengan gaji yang cukup kecil. Bahkan lebih kecil dari uang jajan ygan ayah berikan untukku.
Melihat tujuan hidupku yang semakin tak jelas arahnya. Ayah semakin memaksa agar aku segeram menikah dengan Mas Ardi. Pertengkaran ke sekian kalinya pun kembali terjadi.
"Kalo ga sama Ardi, mungkin kamu ga akan dapat lelaki baik lagi."
"Kenapa sih, Ayah paksa aku nikah terus?!"
"Ayah mikirin masa depan kamu."
"Aku ini udah dewasa. Bisalah mikirin masa depan sendiri."
"Bisa apa? Nyari kerja aja ga dapet-dapet kan?"
"Ya belum."
"Kalo ga sama Ardi mungkin ga akan ada lelaki baik lainnya yang mau sama kamu?"
"Kok omongan Ayah gitu sih?! Nyumpahin aku ga laku."
"Siapa juga yang mau memperistri anak manja, cengeng, keras kepala kayak kamu kalo bukan orang sesabar Ardi."
"Ayah sok tau!"
***
Esoknya di hari ulang tahunku, Mas Ardi mengajak makan malam di sebuah restaurant di pinggir pantai. Suasana yang cukup romantis. Seusai menyantap hidangan, tiba-tiba saja Mas Ardi berlutut di hadapanku.
"Dara, Mas tau hingga detik ini kamu belum bisa menyukai Mas, tapi ga ada salahnya kita coba dalam hubungan yang lebih serius."
Hanya menatapnya, tak merespon apapun.
"Mas ingin mempersunting kamu, Mas janji akan bahagiakan kamu. Maukah kamu menikah dengan Mas Ardi?" tanyanya sambil menjulurkan cincin.
"Emm ... aku bingung Mas."
"Kalo kamu bingung ga apa. Mas ga maksa. Bicarakan aja dengan Ayahmu kalo Mas melamarmu. Semoga aja kamu mau member Mas kesempatan."
"Nanti aku pikir-pikir dulu ya Mas."
"Ya, ga apa. Akan mas tunggu, tapi jangan lama-lama. Tar keburu Mas lamar perempuan lain loh," ucapnya meledek.
***
Setelah lamaran langsung diucapkan oleh Mas Ardi. Aku terus berpikir, keputusan apa yang sebaiknya kuambil. Apakah menerima atau menolak. Sejujurnya dalam hatiku yang terdalam. Masih saja berharap suatu saat Boy akan kembali. Hingga saat ini. Tak juga kumampu melupakannya. Tiap detik masih saja ada nama Boy dalam hati dan pikiranku.
Satu bulan berlalu masih belum memberikan jawaban atas lamaran Mas Ardi. Ayah terus menerus mendesakku untuk menerima lamarannya. Hingga akhirnya dengan berat hati kuputuskan untuk menerimanya.
Demi kehendak ayah, menikahi pria yg tidak kucintai sama sekali. Menikah hanya atas dasar tuntutan dari ayah serta dorongan dari orang-orang di sekitar. Semua menganggap Mas Ardi adalah yang terbaik.
Hari pernikahan tiba. Aku masih berharap Boy hadir dan mencegah pernikahan ini. Namun semua hanya mimpi. Dia tidak pernah datang meskipun aku menitipkan pesan ke semua temannya.
Pada acara yang seharusnya sakral. Pikiranku begitu kalut. Entah mengapa di hari yang begitu penting ini masih saja ada Boy dibenakku. Antara rasa sedih dan kesal. Mengapa begitu bodohnya aku mencintai sesama jenis yang sampai detik ini aku pun tidak tahu apakah cintaku berbalas atau tidak.
Bertaun-tahun berhubungan dengannya tidak pernah sekalipun dia menyatakan cintanya padaku. Bahkan pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Membiarkanku terlarut dalam kerinduan yang mendalam.
Meski berat. Harus mencoba melupakan. Mungkin jalan yang ditunjukkan ayah adalah yang terbaik. Berlangsungnya pernikahan ini.
Tak tahu kapan sosoknya akan meredup. Kemudian sirna. Hanya mampu menjalani tiap prosesnya.
Kini aku sah dimiliki seseorang. Raga ini milik Mas Ardi, suamiku. Namun hati ini, masih milik Boy seutuhnya.
Bersambung..