Part 9

1.8K 60 2
                                    

Tarik ulur niat di hati ketika hendak menekan nomor ponsel yang tertera di brosur. Masih ragu apakah sebaiknya menghubungi atau tidak. Dilema bergejolak. Antara rasa takut akan penolakan, dengan rasa ingin kembali berjumpa yang begitu besar.


Setelah berpikir panjang, akhirnya kuputuskan untu memenangkan rasa ingin jumpa. Beberapa kali nada panggil terdengar. Belum juga tersambung. Menanti dengan cemas.

[Hallo ... selamat siang.]

Mendadak berdebar jantung ini ketika mendengar suara seseorang yang begitu kukenali. Hingga membuat bibir kelu, sulit untuk menjawab.

[Hallo ... dengan siapa ini?]

[Ha- hallo.]

[Ya, saya Merry. Ada yang bisa dibantu?]

[Boleh bertemu?]

[Dengan siapa ini?]

[Ma- mau tanya-tanya soal properti.]

Sesaat hening. Entah Boy masih mengenali suaraku atau tidak. Tak lantas menyampaikan padanya siapa diriku. Hanya bersikap seolah aku hanyalah calon pembeli properti.

[Bisa bertemu?]

[Silahkan datang ke kantor marketing kami.]

[Bisa janjian di suatu tempat saja?]

Kembali hening. Boy tak menjawab. Hingga kembali kutegaskan keinginanku.

[Bisa kita bertemu? Di luar kantor marketing?]

Masih tak ada jawaban. Mulai menuai kekecewaan. Bila dia mengenali suaraku. Mungkin Boy memang ingin menghindar. Mulai pasrah.

[Hallo ... ya sudah kalo ga bi-.]

[Bisa.]

[Bisa?]

[Bertemu di café Rosi jam satu siang.]

[I- iya.]

[Selamat siang, sampai jumpa.]

Masih tak tahu apakah Boy mengetahui atau tidak bahwa yang menelpon adalah aku. Namun dari nada bicaranya, dia bersikap seolah sedang bicara dengan klien. Bukan dengan aku, orang yang telah bertahun-tahun telah dikenalnya.

***

Sebelum pukul satu siang aku sudah berada di café yang ditunjuk Boy sebagai tempat janjian. Menanti dengan rasa penasaran. Bagaimana Boy akan bersikap ketika bertemu denganku lagi.

Beberapa saat menunggu, Boy yang berpenampilan Merry pun tiba. Berjalan menghampiri. Tak tampak raut terkejut dari wajahnya ketika melihatku yang sedang menunggu. Itu artinya dia mengenali suaraku. Tahu aku yang berbicara dengannya melalui ponsel.

Berdiri di hadapan. Kami berpandangan. Terasa debaran yang kembali muncul. Rasa yang sama sseperti saat pertama kali berjumpa dengannya bertahun-tahun lalu.

"Selamat siang," menjulurkan tangan.

Kubalas jabat tangannya, "Siang."

"Ada yang bisa dibantu?"

Boy duduk di hadapanku. Entah mengapa suasana begitu kaku. Dia bersikap teramat formal. Membuatku merasa tak nyaman. Seperti bukan Boy yang kukenal dulu. Terasa begitu asing. Menerima sikapnya itu membuat hati ini merasa pedih. Sungguh di luar dugaan. Kukira kami akan berbincang dan meluapkan rasa rindu ketika ada kesempatan berjumpa kembali. Namun nyatanya, ini bukanlah situasi yang kubayangkan.

"Bu ... ada yang bisa dibantu?"

Hanya diam menunduk. Tak memberi respon apapun. Menahan rasa sedih.

Cinta Terlarang (Selesai ✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang