Chandelier

62 8 0
                                    

Vote-nya dulu dong yaa😘
.
.
.
Udah? Kalo udah. Silahkan menikmati~

*****


Aku terengah-engah saat berlari menuju pintu kelas. Nyaris saja aku telat, sedetik kemudian bel masuk berbunyi. Kuhempaskan tasku di meja lalu mengatur nafas yang masih naik-turun. Detak jantungku sangat kacau, dan keringat yang awalnya menetes sekarang sudah berubah mengalir.

Tak kudapati Max pagi ini. Bahkan sampai Mr. Sam datang pun, ia tetap tidak ada. Kemana dia? Apa aku harus bertanya pada Feli?

"Fel?"

"Iya, ada apa Bel?" Tanggannya masih menuliskan judul materi biologi. "Tidak jadi, lupakan," ucapku membalik badan dan memfokuskan ke pembelajaran lagi.

Mr. Sam nampaknya baik-baik saja, dia tidak merasa kehilanggan salah satu muridnya. Begitu juga dengan teman-temanku, tidak ada yang bergeming melihat ke-absen-an Max.

Hari keduanya saja sudah bolos begini, apalagi nanti. Dasar bocah!

***
Seharian aku mencarinya. Celingak-celinguk, tapi tak mendapatkan batang hidungnya dimana pun. Ada apa dengannya? Kemarin hari, ia mengajakku ke tempat istimewa dan sekarang saat aku membutuhkannya ia tidak ada. Sebenarnya dia siapa? Apa dia jelmaan jelangkung? Datang tak diundang, pergi tak diantar.

Shit. Kau menyebalkan sekali, Max! Umpatku dalam hati.

Hari sudah sore, sama seperti biasa. Aku malas pulang, hm sebaiknya aku kemana? Oiyaa. Danau! Sudah lama aku tidak mengunjunginya. Ah, semoga saja aku masih ingat rutenya.

Kaki-ku melangkah dengan cepat. Hatiku bersemangat menyambut danau kesukaanku di depan mata. Berdendang kecil dan menari-nari itulah yang kulakukan sekarang. Burung gereja juga ikut menyanyi, sepertinya mereka rindu padaku. Hm, percaya diriku mulai muncul tak terkendali–lagi. Ah sudahlah, lagian, aku sendirian disini. Kalaupun aku ingin menjadi orang gila, siapa yang tau.

"Aaaaaaaaaaaaaaa," teriakku.

Aku langsung berlari ke tengah padang rumput dimana di sebelah selatannya, terdapat danau bening nan indah. Beberapa kali aku memutar badan sambil merentangkan tangan, dan ambruk begitu saja di rumput. Pusing mulai menyerangku namun itu hal wajar bukan.

Setelah menutup mata sejenak dan menenangkan diri, aku mulai membuka mata. Betapa indahnya karya tuhan, bagaimana DIA bisa membuat hal menakjubkan semacam ini. Bagaimana DIA bisa menempatan matahari disana, awan, langit, air, pohon, dan semuanya pada tempat yang pas. Sempurna. Itu dia kata paling tepat pada sebuah penggambaran ini.

Refleksi, proses tidurnya sang mentari tercetak dengan indahnya di air danau. Kulemparkan batu ke tengah danau itu dan membuat lukisan itu bergelombang sedikit. Aku terkekeh geli.

Langit menggelap, kulihat jam yang ada di ponselku.

17.30 p.m waktu Emerland.

Saatnya pulang.

"Lalala, dududu." Senandung kecil kulantuntan.

Langit menggelap, suara burung hantu mulai menyaingi senandungku. Tak terasa langkah kaki-ku menuju arah yang salah.

Oh ya Tuhan jangan lagi, kumohon jangan lakukan padaku lagi.

Aku berjongkok dan menutup wajah dengan tangan. Sekarang aku benar lupa bagaimana arah jalan pulang. Pohon-pohon, jalanan kecil yang aku biasa lewati seperti menghilang–melebur– jadi satu. 'Semuanya sama!'

Semua terasa berputar-putar di kepalaku. Aku pandanganku mengabur, menyisakan sedikit gambaran kurang jelas. Vertigo! Iya penyakit itu muncul menyerangku disaat-saat aku panik seperti ini.

"Aku takuuuut. Ayah, Mamaaaa. Tolong aku! Jemput aku!" Aku berteriak sekeras mungkin. Mataku mulai basah, air mata tak mampu kubendung lagi.

Lalu, 3 detik kemudian. GELAP.

***

"Aargh." Badanku terasa sakit, namun posisiku sudah lebih baik dari sebelumnya.

Kubuka mata, dan mendapatkan hal-hal aneh lain. Aku berada di atas kasur empuk nan lembut. Bantal-nya pun sama.

Biar kutebak, pasti berbahan bulu angsa. Hmm nyamannya.

Tunggu dulu! Ini bukan kamarku. Kamar ini sangat asing. Begitu luas, dan klasik.

Ranjangku berada di tengah kamar, tepat di hadapan sebuah pintu besar dengan ukiran kuno. Ada sebuah lemari beukuran besar—mungkin bisa dibilang 'Jumbo'— disisi kanan ranjangku. Lalu ada pintu kecil disebelah kiri-nya, kurasa kamar mandi. Ada meja hias dengan cermin super besar di sisi kiri ruangan ini. Pinggiran cermin itu juga memiliki ukiran, namun berbeda dengan yang berada di pintu.

Kuturunkan kaki-ku dari ranjang dan beranjak ke arah kiri, di sana terdapat balkon. Pintu menuju balkon terbuat dari kaca, dengan gorden berwarna maroon yang ditali rapi dengan tali berwarna emas. Tanganku menyentuh gorden itu, sanggat lembut.

Cahaya keperakan sang bulan menembus pintu kaca. Lilin-lilin gantung di kamar ini cukup membuat penerangan temaram.

Lilin-lilin itu memiliki beberapa warna, kurasa setiap warna memiliki wangi yang berbeda. Lavender, Almond, Vanila, Ecaliptus, bebauan yang menyeruak masuk hidungku. Bau-bauan itu menyatu padu menghasilkan wangi khas yang aneh namun menenangkan. Manis dan maskulin. Di tiap-tiap tempat lilin memiliki ukiran, seperti sebuah simbol-simbol aneh pada zaman kerajaan yang manusia zaman sekarang kurang mengetahui maknanya.

Kamar ini memang mengerikan, juga mengagumkan.

Apakah ini Istana? Pikiran aneh membuatku tersadar dari lamunanku.

Sebenarnya dimana aku?

Siapa yang berani menculikku. Tega sekali dia.

Rasa panik menyerangku kembali. Tidak! Aku harus mengontrol emosi-ku. Jangan sampai aku pingsan lagi.

Tarik nafas, hembuskaaaan.
Tarik nafas, hembuskaaaan.
Tarik nafas, hembuskaaaan.

Tok. . . Tok. . . Tok. . .

Mendengar pintu diketuk, membuatku berhenti melakukan yoga kecilku—olahraga menenangkan diri.

Jangan-jangan itu orang yang menculikku. Tidaaaaak. Aku harus bagaimanaa ini. Jelas sekali, yoga-ku gagal total.

Kututup mataku dengan tangan. Terdengar suara bunyi pintu terbuka. Dan suara langkah kaki memasuki kamar ini. Suara langkah itu berhenti.

"Jadi, kamu sudah bangun Bel?" Suara bariton itu sangat kukenal. Meskipun baru kemarin hari, namun aku yakin aku tidak salah mendengarnya.

Perlahan langkahnya mendekatiku, membuka tangan yang sedari tadi menutupi wajahku.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya lagi. Kepala-nya sedikit ditelengkan ke kiri. Menerka apa yang kupikirkan.

"Aku tidak menculikmu. Sungguh," ucap Max pasti. Tangan dingginnya menurunkan tanganku dan ia bersendekap.

Mulutku masi tak mampu mengeluarkan sepatah kata apapun. Bagaimana ia ada disini? Bagaimana aku ada disini? Apa yang terjadi padaku? Tempat macam apa ini? Semua pertanyaan menyerang kepalaku sedari tadi. Dan dia bertanya apakah aku baik-baik saja? Tentu saja tidak.

"M–Max," ucapku gugup. Tubuhku gemetar, efek panik.

"Hmm?" Rautnya wajahnya masih sama—datar.

"Dimana aku?" Aku bertanya lagi padanya. Mataku mengabsen seluruh ruangan asing ini.

"Di rumahku," jawabnya singkat.

***

Haiiiii kawan. Akhirnya bisa apdet, hihi^^—bernafas lega.

Ini dikarenakan aku ada sedikit waktu renggang. Yap👌 19-20Feb'17 aku libur. 19 karena hari minggu. 20 karena bukan jadwal masuk Ujian LSP-ku. Jadwalku hari selasa jadi tepat tanggal 22-nya.

Huft. Gabosen-bosen buat ngingetin! "JANGAN LUPA TINGGALIN JEJAK!! APAPUN ITU!!!—kecuali jejak kaki yang abis nginjek 💩kebo"😂😂😂 bercandakeleuzz

Wahaha, sekian dari saya. Wassalamualaikum wr.wb.

*Septi Sari Dewi imnida🙏

Hello Demons!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang