Roses

96 16 2
                                    

"Silahkan duduk Mr. Riddle, carilah tempat duduk yang kau mau," perintah Mrs. Clase sambil memegang pundak Max dan mempersilakannya mencari bangku.

Ia menatapku. Oh ya tuhan, jangan bilang dia ingin duduk disini. Langkahnya yang anggun untuk seukuran laki-laki itu menuju ke arahku. Dan ternyata dia benar-benar duduk di bangku sebelahku.

Sial. Kenapa tadi aku tidak meminta Felicia saja untuk duduk sebangku denganku. Gerutuku dalam hati.

Dia dengan mata Ruby miliknya tidak pernah berhenti menatapku. Dia tidak membuka percakapan apapun, rasanya begitu kaku. Sedikit aku meliriknya, meskipun tubuhnya tetap terlihat tenang tapi tatapan menusuk itu tetap ada.

Lalu aku sedikit menggeser posisi dudukku dengan sedikit menyerong ke kanan. Mencoba memfokuskan pandanganku ke arah papan tulis saat Mrs. Clase menerangkan bahwa Ilmu Komunikasi itu penting.

"Hai," sapanya datar.

Hai? Tenggorokan ku tercekat. Apa dia mengajakku berbicara? Dengan kikuk aku memandangnya. "Hai juga." Jawabku dengan senyum yang kupaksakan.

"Kenapa kamu terlihat gelisah?"

Darimana dia tau kalau aku sedang gelisah. Apa mungkin dia pembaca pikiran.

"Itu terlihat di wajahmu."

Hah benar-benar pembaca pikiran.

"Apa kau sedang menimang-nimang apakah aku seorang pembaca pikiran?"

"HA?" Kali ini kata Ha-ku lolos secara relfek keluar dari mulutku.

"Ups. Maaf." Tanganku dengan reflek menutup mulutku. "Ah, . . iya, maaf. Hmm, sebenarnya iya aku sedang memikirkan apakah kamu pembaca pikiran." Aku mengaku. Oh jangan bilang pipiku memerah lagi. Aku sangat malu.

"Hm. Begitu." Datar lagi. Jangan tanya wajahnya seperti apa, tentu saja tanpa ekspresi. Aku enggan menjawabnya.

Lalu setelahnya hening. Benar-benar hening dalam artian sebenarnya.

Tiba-tiba angin menerobos masuk melewati jendela di samping bangku Max. Mengalihkan pandanganku yang sedari tadi mencoba fokus ke arah papan. Jauh aku melihat ke arah luar jendela. Ada beberapa anak sedang bermain bola di lapangan hijau di bawah sana. Ya, mereka sedang pelajaran olahraga mungkin. Dan diluar pagar sekolah ini, tepatnya di kiri lapangan itu merupakan hutan.

Hutan itu memang tidak berbahaya. Bahkan jika teman-temanku memasuki hutan itu sekalipun, mereka masih bisa kembali ke arah semula. Tapi, tidak berlaku untukku. Meskipun sudah membawa kompas, navigasi alamiku tidak pernah benar. Aku selalu saja tersesat di hutan itu. Dua kali aku memasuki hutan itu, dan akulah yang menyebabkan kekacauan. Sampai kapanpun aku tidak akan mau lagi memasuki hutan itu. Entah, rasanya aku benci hutan. Dengan pohon-pohon yang terlihat sama. Tidak ada jalan setapak yang pasti. Ditambah suhu yang terlalu lembab. Itu sangat tidak cocok denganku.

Dua kali aku memasuki hutan itu karena sebuah keterpaksaan. Karena, aku sebagai anggota sebuah organisasi yang melakukan penempuhan. Agar aku bisa di terima di organisasi itu, maka aku harus menempuhnya. Dengan rintangan yang disediakan di hutan itu. Bukannya aku menyelesaikan tugas yang diberikan. Aku malah memberikan tugas ke kakak panitia untuk mecariku di dalam hutan. Karena saat langit gelap, aku tak kunjung kembali.

Dan angin kembali melewati ku. Menerbangkan beberapa helai rambutku. Dan juga mengembalikan kesadaranku.

"Bella, apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa kau tidak menyimak pembelajaran saya?" Kata Mrs. Clase dengan tegas.

Ya ampun, apa aku melamun selama itu. "Maaf, Mrs. Clase. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Jawabku dengan muka menunduk.

"Baiklah. Jangan ulangi itu lagi."

Hello Demons!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang