Kecil dan Kelam

98 17 5
                                    

Madura, Juni 2005

"Kriiingg.... kriinggg.. kriingg..."
Riuhnya bunyi sepeda teman-temanku langsung bisa kukenali sesekali mendengar.

Terperanjat dari tidurku.
Kuintip mereka bersenang-bersenang dengan sepedanya diluar rumahku.
"Ah... coba aja aku punya sepeda. Pasti aku bisa ikutan maen bareng mereka" gerutuku dalam hati.

"Hei Na, ikutan maen yok!" Ajak Shita
"Nggak deh. Kakiku lagi sakit" kebohongan pertama kulakukan.

Ekonomi boleh dibilang rendah, tapi lagi-lagi aku bangga sama mamak dan bapak. Mereka mulai menyekolahkanku meski mereka nggak tau hari besok mau makan apa.

Di masa itu, di tempatku berpijak. Masih jarang sekali anak-anak disekolahkan TK oleh orang tuanya. Kalo bukan anak orang mampu dan berpendidikan, mana mungkin mereka disekolahkan TK.

Taman Kanak-kanak
Usiaku masih 6 tahun. Disitu aku pertama kali diajari untuk kuat.
Kuat dalam hal apa?
Semuanya

Pertama menginjakkan kaki di TK.

Gemetar sekali. Ibu guru menanyai satu-persatu nama calon murid.
Padahal cuma ditanya nama, ya ampun gugupnya.
Ini giliranku
Saking gugupnya,
"Nak, namamu siapa?" Tanya ibu Endang dengan senyum merekah dibibir merahnya.
"Emmm... Ma'ana" suara pelan nyaris nggak kedengeran.
"Siapa nak? Boleh diulang lagi?" Tanya ibu Nasiah sedikit mendekatkan kupingnya padaku.
"Nana Ma'ana" entah apa yang kupikirkan. Kenapa kupasang nama Nana di namaku. Mungkin karena sebelum giliranku ada nama Nana juga, jadi kutiru aja. Ampun...
"Bagus Nana Ma'na. Duduklah di kursi nomor dua disana" tunjuk ibu Nasiah pada sebuah kursi.

Nana Ma'ana?
Ma'ana
Tapi tadi aku bilang Nana Ma'ana. Mamak....
"Mak tadi ibu guru nanyain nama lengkapku. Terus, sekarang aku nanyak mamak, nama lengkapku siapa mak?"
"Mamak kan udah pernah bilang ke kamu Nak. Ma'ana" jelasnya singkat sekali.
"Ma'ana aja? Mak tadi aku bilang ke ibu guru kalo nama lengkapku Nana Ma'ana"
"Nemu dimana kamu nama itu Nak?" Tanya mamak sedikit heran padaku
Ya aku ceritain aja kalo aku niru nama anak yang dipanggil sebelum giliranku.
Tawa mamak mulai meledak.
"Yaudah nggak papa lah Nak"
Mamak dan bapak dengan mudah mengiyakan perubahan namaku sejak lahir. Menurut mereka, selama artinya nggak menyimpang dari syariat Islam ya boleh aja. Mereka memaklumi keluguanku saat itu.
Lagian waktu itu aku belum dibuatkan
AKTA KELAHIRAN
Ataupun
KARTU KELUARGA.

Ibu Endang Sulastri A. Ma
Ibu Nasiah
Ibu Nasiyah
Orang tuaku di TK ya mereka.
Disana pertama kali aku diajarkan menulis, membaca, menghitung, mewarnai, senam olahraga dan berinteraksi sesama teman.

Hari kedua di TK.
Mulai nyaman dengan namaku.
Nana Ma'ana...

"Nana Ma'ana!" Panggil ibu Endang menatapku lembut.
"Saya bu." Membalas tatapan halusnya.
Itulah pertama kali aku dikenalkan dengan yang namanya Absen kelas.

Teng.... Teng... Teng...
Istirahat.

Keluar dari kelas. Sendiri.
Kulihat disana Shinta jajan bareng ibunya.
Disitu tampak Ani merengek pada mamanya.
Bahkan didepan pandanganku, sedang asyik Lala dibelikan es krim oleh kakaknya.
Di tempat itu, satu langkah dari pintu. Kulihat pemandangan indah yang nggak bisa aku rasain sendiri.
Membayangkan mamak sama bapak datang dan menyuapiku makanan enak.

Selayang pandang, ibu Endang mengagetkan lamunanku.
"Nana, kenapa kamu nggak beli jajan?" Pertanyaan lembut membuatku sedikit tersindir.
"Nggak bu, Nana masih kenyang. Tadi mamak ngasih Nana sarapan yang baaaanyak" bohong pada guru itu nggak boleh. Tapi aku belum diajarin.
"Oh baiklah. Oiya ibu kenal bapakmu Na. Dia teman sekolah ibu dulu. Salam ya ke bapakmu" matanya berbinar-binar.
"Iya bu"

Dari sejak itu, ibu Endang lebih sering memandangku. Entah itu karena aku anak dari temannya atau karena aku sering melamun di kelas.
Ya, aku sering melamun. Aneh kan. Biasanya anak TK identik dengan bersenang-senang, main-main, nangis di kelas. Nah ini, malah melamun.
Lamunanku nggak lain tentang mamak sama bapak. Nggak biasanya anak seusiaku melamun karena mikirin orang tuanya.
Aku bayangin, sekarang pasti bapak lagi ngangkat kapak. Tapi beratnya kapak itu nggak bisa aku bayangin.
Ngangkat kapak buat apa?
Ya jelas buat ngancurin batu-batu di gunung. Itu mata pencaharian bapak selama ini.
Kenapa harus bekerja seperti itu? Ya karena, itu sumber pekerjaan yang mendominasi di desaku. Desa yang letaknya sangat dekat dengan sebuah gunung mati.

Di rumah, aku nyampein salam ibu Endang ke bapak. Bapak cerita kalo ibu Endang emang teman bapak waktu Smp.
Menerawang apa itu Smp, ternyata nggak bisa kuterawang.
"Baik-baik di sekolah ya Nak. Bapak percaya kalo anak bapak pasti jadi anak pinter. Nggak bakal nyusahin ibu guru. Itu karena bapak sama mamak doain Nana dari belakang" bapak mulai menghanyutkan suasana.
"Mamak tau, kalo Nana pengen di anter-jemput ke sekolah kayak teman-teman Nana kan!?. Tapi yakin Nak, mamak lebih percaya anak mamak. Nana bisa mandiri, Nana bisa kuat tanpa anter-jemput itu" imbuh mamak sambil melipat baju.
Intinya, aku ini anak kuat.
Super duper kuat. Kata mamak sama bapak.

Emang kelam, tapi aku nggak mau orang melihatku aku ini kecil.
Kecil di pandangan mereka.
Aku nggak mau dan nggak akan pernah mau...
Tunggu aku buat jadi besar.

Tungguin aja!...

WAITING...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang