Sore ini.
Ya, sama seperti sore-sore biasanya. Kutatap sesosok pria paruh baya membawa sebuah senjata di punggungnya.Bapak bersama kapak.
Berjalan dengan sepasang kaki tanpa alas, topi yang dipakainya telah usang. Peluhnya mengalir bersamaan dengan napas lelah yang agak ditahan. Berusaha untuk menyembunyikan letihnya dariku.
Tuhan... Aku masih kecil. Tapi aku tau bapak sama mamak menderita. Kenapa kami tidak bisa sama dengan mereka. Dengan keluarga Shinta, Ani, atau Melly. Mereka teman TK ku. Mereka bisa dapetin apa yang mereka mau. Mainan, baju-baju cantik, boneka lucu, juga makanan lezat. Aku mau itu semua.
"Nak, bisa tolong ambilkan air?!" Pinta bapak sambil melepas topinya.
Sekelebat ku terdiam. Entah berpikir atau mengingat. Yang jelas, seakan-akan aku pernah mengalami hal serupa. Padahal baru kali ini bapak menyuruhku.Oh ya, kuteringat perkataan mamak.
"Nak, misal seseorang meminta pertolonganmu, Mamak harap kamu mau membantunya sepenuh hati. Lakukan dengan ikhlas. Apalagi kalau mamak atau bapak yang nyuruh kamu."
Teringat jelas perkataan itu. Mamak memakai baju cokelat kesayangannya dengan sarung motif batik pemberian nenek.
Tak menunggu lama, segera ku ambilkan bapak segelas air putih yang sudah kuberi ramuan mujarab.
Ramuan mujarab. Nggak perlu ku bacakan air putih itu dengan mantra penghilang rasa lelah, nggak perlu juga ku belikan jamu ke warung jamu ataupun ramuan yang dijual dekat rumah.
Hanya Al-Fatihah yang ku lantunkan sambil berdiri dengan gelas itu ditanganku. Aku minta sama Tuhan agar lelah bapak hari ini bener-bener barokah."Kamu ngambil air di sumur tetangga, Nak? Agak lama ya... Hehe" Bapak dengan sindiran halusnya.
"Aaa... emm..." Hanya mata yang kuputar ke atas mengisyaratkan kalau aku sedang bingung menjawab pertanyaan bapak.Lagi-lagi mamak datang menghampiri aku dan bapak dengan senyum manisnya.
Mamak. Kuakui dia nggak lebih cantik dari ibu guruku di TK. Nggak lebih modis dari ibu teman-temanku. Tapi lentik bulu matanya, tahi lalat kecil di dagu kanannya, juga dengan kedua lesung pipinya. Dalem banget kayak sumur. Takjub. Beneran. Mamak malaikatku. Cuma aja mamak nggak punya sayap.Duduk disamping bapak. Mamak berkata pelan ke bapak tapi sedikit masih bisa kudengar.
"Pak, tadi Azizah adikmu dateng kesini. Dia nawarin kita buat kerja di tempat suaminya kerja." Ungkap ibu agak berbisik pada bapak.
"Di Mekkah?" Bapak mengernyitkan dahinya.Kupikir mereka cuma berbincang tentang pamanku yang ada di Mekkah. Tapi kenyataanya.
***
Kuk... Kukk..Kukkuruyyuuuukkkkk...
Ayam tetangga berkokok begitu lantangnya. Membangunkan manusia dari nyenyaknya tidur. Menandakan azan subuh sebentar lagi dikumandangkan. Bapak pernah bilang..."Kalo Nana denger ayam berkokok dini hari, Nana do'a apa aja yang Nana mau. Waktu itu, malaikat datang. Nanti do'a Nana bakalan di amin-in sama malaikat."
Mataku setengah terbuka. Ku pastikan suara itu emang suara ayam berkokok. Dan aku berdo'a. Nggak tau do'aku apa aja. Tapi yang aku inget do'aku waktu itu cuma minta bapak sama mamak sehat.
Nggak sebetapa inget soalnya mataku seketika itu nutup lagi.Matahari cantik udah terbit. Kulihat bapak masih bersila diteras rumah. Nggak biasanya.
"Pak, bapak nggak kerja?" Tanyaku mendekat.
"Nggak. Bapak sama mamak mau ke rumah bibi Azizah" jawab bapak singkat.
"Oh..." lebih singkat dari jawaban bapak.
"Rumah bibi Azizah kan satu arah sama TK Nana. Nanti kita bisa berangkat bareng kesana" mamak menambahkan kata-kata menyejukkan hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
WAITING...
Teen FictionAku datang bersama kisah-kisah yang mungkin tak bisa kalian jangkau. Ternyata aku banyak menyimpan rahasia. Rahasia yang memang tak seharusnya ku umbar. Bolehkah aku menyimpannya sendiri? Biarkan hati ini saja yang ada dalam sebuah penantian...