Kehilangan. Apakah semua yang hilang akan selalu kembali?
Akankah kembali setelah kutunggu?
Coba pikirkan! Apakah bisa aku bertahan seperti ini?.Semilir angin di pagi hari membuatku bingung. Angin apa ini? Sepertinya belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Pertanyaan bodoh selalu mengusik kepalaku di pagi hari.Hari pertama tanpa kedua malaikatku.
Pancaran sinar sang mentari begitu menggangguku di pagi hari. Silaunya menancap di mata yang belum sepenuhnya bisa kubuka karena tumpukan belek ini. Perlahan kubuka mataku.
"Mak, kok Nana nggak dibangunin?" Kataku layaknya orang mengingau.
"Mak?" Mengulang pertanyaanku.
"Mak... Mamak...?" Kumulai mengangkat kepalaku dari bantal yang sedari tadi menempel kayak dipasang lem."Lah... kok aku ada disini ?" Bingung menatap seluruh isi kamar yang nggak terlalu luas itu.
Kulangkahkan kaki keluar dari kamar.
Kulihat wanita 34 tahun yang tengah mengepel lantai.
Ya, dia bibiku. Bibi Azizah. Adik dari bapak ini termasuk adik paling muda sesaudara.
Dari caranya mengepel dan membersihkan rumah. Aku bisa katakan kalau bibi adalah wanita pemerhati keresikan.
Itu yang bisa aku nilai saat pertama kali kulihat bibi dirumahnya."Bi, mamak mana?" Nggak inget sepotongpun kisah tadi malam.
"Na, mamak sama bapak kan udah berangkat nyusul paman" Tanpa kebohongan dari bibirnya yang agak kering.Terpaku...
Mematung...
Mengingat...Ternyata ini nyata. Aku kira kejadian tadi malam itu cuma mimpi burukku.
Oh tuhan...Ternyata nahan tangis kali ini nggak seperti biasanya. Beda 100%.
Aku nggak bisa ngumpetin rengekan sedihku didepan bibi.
Ternyata sama. Dalam hal ini aku sama kayak kalian. Nangis nggak karuan layaknya usiaku.Terpungkur dalam tangisku. Badanku membungkuk dilantai layaknya orang sujud. Kedua tangan ku lipat di bawah mataku. Air asin itu nggak sesekali dua kali tercicipi, tapi berulang-ulang kali.
"Ternyata emang bener. Ini bukan mimpi." Kucubit pipiku. Masih dalam posisi yang sama kayak sebelumnya.
Bibi yang sedari tadi melihatku mungkin nggak tega juga. Ia menghampiriku. Memelukku.
"Kenapa harus nangis? Mamak sama bapak pergi kan buat Nana." Hibur bibi sambil mengusap tangis di pipiku.
"Maksud bibi apa?" Mulai berani natap mata bibi.
"Iya, mamak sama bapak Nana pergi ke Mekkah buat kerja, ngumpulin uang. Buat sekolah Nana. Biar Nana punya mainan, boneka cantik, baju baru, dan semua yang Nana mau". Memegang kedua lenganku erat.
"Nana harus kuat! Nana nggak boleh jadi anak yang dikit-dikit nangis, dikit-dikit ngambek. Entar bibi kasih tau ke mamak sama bapak Nana. Kalo mereka sampek tau, mereka pasti bakalan sedih. Nana mau bikin mamak sama bapak sedih?"
Cerocos bibi dengan mata penuh keyakinan sedikit mengancam.Terdiam sejenak...
Menerka dan mencoba terjemahkan kata-kata yang barusan bibi katakan tanpa jeda bak seorang Rapper."Nana nggak mau buat mamak sama bapak sedih" Sesenggukan beriringan dengan hidung kembang-kempisku.
"Yaudah. Kalo Nana nggak mau buat mereka sedih, ikutin apa yang bibi katakan. Jangan cengeng, nak!" Tatapan penuh makna itu mencoba merangkulku.Sekedar mencoba merangkul. Belum bisa kukatakan bibi bisa bangkitkan aku dari jatuhku.
"Ini kan hari Minggu. Mending Nana mandi aja. Ikut bibi ke pasar aja yuk!" Dengan mudahnya bibi mengalihkan keadaan.
Ingin sekali ku berteriak...
"Nana masih belum bisa bangkit, bi. Nana nggak mau. Nana mau bareng mamak sama bapak."
KAMU SEDANG MEMBACA
WAITING...
Novela JuvenilAku datang bersama kisah-kisah yang mungkin tak bisa kalian jangkau. Ternyata aku banyak menyimpan rahasia. Rahasia yang memang tak seharusnya ku umbar. Bolehkah aku menyimpannya sendiri? Biarkan hati ini saja yang ada dalam sebuah penantian...