Ayah

117 2 1
                                    

Lelaki paruh baya yang berusia 44 tahun, pulang masih dalam keadaan berbau keringat. Sambil menenteng satu bingkisan, berlari kearahku. Dapat kulihat wajahnya yang sangat lelah namun berusaha ia tutupi dengan sunggingan senyum di bibirnya.
Ayah mencintaimu. Sungguh. Kamu akan tetap menjadi satu-satunya puteri kesayangan ayah. Ayah mengatakan hal itu sambil mencium puncak kepalaku
Aku tahu itu ayah sekiranya itulah yang dapat aku katakan
Selamat ulang tahun anakku Ayah memelukku erat
Setelahnya ayah menyuruhku untuk bersiap-siap, katanya ia akan mengajakku makan diluar untuk merayakan hari ulang tahunku yang ke-16. Tentu saja aku mau. Malam itu aku mengenakan baju apa adanya, kemeja lengan pendek, bawahan celana panjang dan sneakers untuk membalut kakiku.
Saat keluar kamar ayah melihat penampilanku dan langsung menyuruhku untuk menggantinya dengan pakaian yang lebih feminin. Aku menurutinya, karena kupikir ayah pasti ingin aku mengenakan baju yang spesial di hari spesial ku pula.
Saat tiba ditempat makan yang ayah pilihkan, ayah tak mengizinkanku untuk langsung memesan makanan. Katanya ada orang lain yang harus ditunggu. Mungkin itu teman kerja ayah. Tak masalah bagiku bila ayah turut mengundang rekannya. Itu tandanya ayah ingin berbagi kebahagian kepada orang terdekatnya.
Karena, orang yang ditunggu tak kunjung hadir, aku permisi ke ayah untuk ke toilet sebentar. Aku hanya ingin mengecek penampilanku di kaca toilet. Kemudian aku balik menuju meja makan, aku melihat ada 2 orang perempuan duduk bersama ayah. Dari jauh, yang satu tampak seumuran ayah dan yang satu lagi tampak seperti seumuran denganku.
ohhitu pasti orang yang kami tunggu. Syukurlah mereka telah hadir. Kataku lebih kepada diri sendiri. Mendekat ke meja makan, semakin jelas kulihat bahwa perempuan yang ku katakan seumuran denganku tadi adalah Deliga, teman sekelasku di SMA.
Deliga? Aku mencoba memanggil namanya, mungkin saja aku salah orang. Atau memang wajahnya yang mirip dengan teman sekelasku.
Arinda? woww tak ku sangka, perempuan dihadapanku ini memang benar-benar Deliga. Teman satu kelasku.
Hai, Arinda!Saya tante monic, bundanya deliga sekaligus rekan kerja ayahmu di kantor. Kali ini gantian perempuan yang seumuran dengan ayah yang berbicara. Ooh aku mengerti keadaan ini sekarang.
Ooh hai tante! sapaku sambil tersenyum dan mencium punggung tangannya.
Setelahnya kami memesan makanan, di meja makan Tante Monic mencoba memecah kesunyian dengan melontarkan beberapa pertanyaan yang kuanggap itu hanyalah basa-basi daripada sama sekali tak ada hal yang bisa dibicarakan. Dan ayahku pun juga berusaha menccairkan suasana dengan memberikan candaan-candaan yang sebenarnya lucu, namun aku lagi tak berminat untuk tertawa.
Sementara aku dan Deliga terlihat diam di meja makan. Namun, sebenarnya kami sedang berperang. Bukan aku duluan, namun dia duluan yang memulai. Tadi, aku mendengar handphone ku berbunyi dan ternyata itu merupakan chat yang dikirimkan dari akun line milik Deliga.
Deliga : Arinda? Acara apa ini sebenarnya?
Arinda : Ini hari ulang tahunku. Dan mengapa kau ikut serta dalam acara yang tak kau ketahui asal usulnya?
Deliga :Arinda kumohon jangan mulai. Aku hanya diajak Bunda pergi makan. Dan aku sama sekali tidak tau kalau ternyata kita akan bertemu disini.
Arinda : yayaya aku tahu kita memang tak pernah memiliki hubungan pertemanan yang baik di kelas. Tapi, kurasa kau memikirkan hal yang sama dengan apa yang aku pikirkan saat ini.
Deliga : Aku akan permisi ke toilet. Susul aku secepatnya.
Kemudian Deliga izin ke toilet, seperti pa yang ia katakan tadi, aku menyusulnya.
Sungguh Arinda. Aku tidak mengerti. Namun, kukira ayahmu dan bundaku memiliki hubungan spesial begitulah cara Deliga memulai percakapan.Tap. langsung ke poin tanpa pembukaan. Dan kadang itu sangat membuatku jengkel.
Ya, aku tahu. Setidaknya itu jugalah yang sedang aku pikirkan. Dan setelahnya apa? Mereka semakin dekat. Lalu menikah? Kemudian kita menjadi saudara?  Sungguh, sampai detik ini tak ada yang bisa menggantikan posisi Ibu ku. Itulah aku, dan inilah gayaku berbicara.
Dan tak ada pula yang dapat menggantikan posisi Papa di hatiku Arinda. Deliga berkata skeptis dan memang begitu pula lah gayanya berbicara.
Pulang dari sini aku akan berbicara dengan ayah. Dan berjanjilah kau juga harus berbicara dengan bundamu. Aku memerintah Deliga kali ini.
Tanpa kau suruh, aku sudah pasti akan melakukannya Arinda.
Kami kembali ke meja makan. Tak lama setelahnya kami pulang ke rumah masing-masing. Di jalan aku mencoba membuka percakapan dengan ayah
Ayah? Tante Monic, hanya rekan kerja ayah? aku sedang tak berminat untuk berbasa-basi.

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang