Break The Destiny
Oleh: Dinda Putri Pramesti“Sriiingg…”
Tiba-tiba seberkas cahaya menyeruak dari sebuah buku yang sedang di dekap Vivo, ketika ia sedang melayang-layang rendah di udara, di tengah lautan manusia yang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan mereka sendiri.
Melayang-layang rendah di udara? Mungkin kalian sibuk menerka-nerka siapa sebenarnya Vivo itu. Bukan, ia bukan seorang penyihir. Vivo adalah sesosok malaikat cantik. Malaikat tanpa sayap yang di tugaskan untuk mengiringi kematian manusia. Bisa di bilang, ia adalah malaikat pencabut nyawa. Malaikat kematian. Death Angel.
“Maleo. Laki-laki. 24 tahun.” Baca Vivo pada sebaris kalimat yang tertera di buku yang ia pegang. Usai membaca, Vivo melayang menuju tempat yang akan menjadi saksi hilangnya satu nyawa manusia.
“Braakk!!”
“Aaaaa!!!”
Suara hantaman antara tubuh sesosok manusia dengan sebuah mobil menggema, di iringi dengan teriakan-teriakan manusia yang melihatnya. Sekali lagi, selama ia menjalankan tugasnya sebagai malaikat, ia harus menyaksikan bagaimana sebuah nyawa melayang di depan matanya.
Vivo hanya bisa memandangnya tanpa ekspresi ketika roh pemuda bernama Maleo itu terangkat dan melemparkan senyum kecil kepadanya. Ia sudah biasa melihat kejadian-kejadian seperti ini.
Bagi Vivo, kematian pasti akan di alami oleh semua manusia yang memiliki nyawa. Dengan berbagai skenario yang telah di tetapkan-Nya. Ia sebagai malaikat hanya bisa menjalankan semua tugasnya dengan baik. Tak ada gunanya ia untuk melawan takdir yang sudah di tetapkan. Tidak, tidak pernah sedikitpun terpikirkan di benak Vivo untuk melawan takdir manusia-manusia itu. Bagi dia hanyalah agar bisa menjalankan tugasnya dengan baik saja. Tidak ada yang lain.
Setelah Vivo selesai dengan tugasnya, ia kembali berkeliling-keliling. Melihat aktivitas-aktivitas manusia di sore yang cerah ini. Ia mulai asyik melihat dua orang anak kecil tengah berlari-larian di taman ketika perhatiannya teralihkan oleh sesosok pemuda jangkung berseragam sekolah yang lewat dengan menyandang tas di bahu kanannya sambil tetap membaca buku yang ia bawa. Kharisma yang kuat seolah memancar ketika pemuda itu lewat di depan Vivo. Vivo hanya bisa memandangnya tanpa berkedip. Dan secara refleks ia mengikuti langkah tegas pemuda itu.
“Fa…ris At…thaya Fau…zan”, kata Vivo mengeja nama di badge yang tertempel di seragam sekolah pemuda benama Faris itu.
“Nama yang bagus. Sesuai dengan orangnya”, gumam Vivo.
Vivo terus mengikuti langkah cepat Faris yang masih tetap fokus dengan buku yang sedang di pegangnya. Hingga langkahnya terhenti di depan gedung sebuah rumah sakit umum.
“Selamat sore pak.”
Ia masuk sambil menyapa satpam yang berjaga di depan seolah-olah mereka sudah saling mengenal.
“Selamat sore Faris. Gimana sekolahnya?” jawab satpam itu.
“Baik pak. Saya masuk dulu ya pak,”
Faris mulai memasuki gedung rumah sakit dengan langkah yang tegas dan mantap. Vivo mengikutinya dengan sejuta pertanyaan yang menggema di kepalanya hingga langkah Faris terhenti di depan kamar rawat bernomor 094.
“Kriieeett…”
Faris membuka pintu dengan perlahan, dengan maksud untuk tidak membangunkan orang yang sedang terbaring di dalamnya. Dan tampaklah sesosok tubuh wanita yang sedang terbaring lemah di atas ranjang.
Vivo menutup mata dan mulai memusatkan pikirannya untuk mencari tahu semua tentang pemuda bernama Faris ini. Hingga sekelebat bayangan muncul di kepala Vivo bagaikan rentetan adegan film.
Faris Athaya Fauzan. Sesosok pemuda yang di lahirkan oleh seorang wanita single parent. Ia tak pernah tahu siapa sosok ayahnya. Faris hanya hidup dengan ibu dan adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMP. Ia sendiri sudah duduk di bangku SMA. Ia menjalani hari dengan penuh perjuangan.
Saat ia mulai memasuki masa SMA, penyakit asma yang menyerang ibunya semakin parah. Kehidupan mereka yang serba pas-pasan membuat Faris bertekad untuk mendapatkan beasiswa penuh di sekolahnya dan memulai untuk memasuki dunia kerja. Kehidupannya yang penuh derita tak membuatnya putus semangat. Ia bertekad akan terus membahagiakan keluarga kecilnya yang tersisa.
Sulit Vivo bayangkan, ada juga gambaran sempurna manusia di tengah zaman yang seperti ini. Tak bisa ia bayangkan bagaimana sulitnya Faris dan keluarganya menjalani kehidupan.
“Udah bangun ma?”, kata Faris ketika melihat ibunya yang sudah membuka matanya.
“Udah sayang. Gimana sekolah kamu? Kamu udah makan? Fania mana?”, rentetan pertanyaan keluar dari bibir pucat ibunya.
“Sekolah Faris baik-baik aja kok ma. Tadi Fania izin sama Faris katanya dia gak bisa datang, ada ulangan besok. Nanti Faris cari makan di luar aja ma. Mama udah makan?”
“Udah sayang.”
Ibu dan anak itu saling bercengkrama. Bercerita tentang aktivitas mereka masing-masing. Sedangkan di sudut sana Vivo hanya dapat memandanginya dengan hati yang bergetar. Bagaimana tidak? Sungguh mengharukan melihat masih adanya pemuda remaja yang sudah mau bertanggung jawab dengan keluarganya. Di saat anak-anak yang lain mungkin saja sedang bersenang-senang di luar sana, Faris dengan sepenuh hati membantu menghidupi ibu dan adiknya. Potret yang sangat langka.
Setelah bercengkrama cukup lama, Faris berpamitan pada ibunya untuk membeli makan di luar. Lagi-lagi Vivo mengikuti langkah pemuda itu. Entah magnet apa yang membuat Vivo tak bisa untuk tidak mengikuti langkah Faris.
Di sepanjang jalan, Vivo dapat melihat bagaimana ramahnya Faris terhadap orang lain. Ia member senyum hangat pada setiap orang yang ia kenal. Vivo dapat bayangkan, betapa bangganya ibu Faris bisa memiliki anak seperti Faris. Tapi tak dapat Vivo bayangkan, andaikan saja Faris harus mendahului ibu dan adiknya. Betapa sedihnya jikalau itu benar-benar terjadi.
“Sriiingg…”
Cahaya dari buku itu kembali menyeruak. Vivo membaca kata demi kata yang tertera. Dan astaga!
Apa yang baru saja Vivo bayangkan muncul menjadi kenyataan.
“Faris Athaya Fauzan. Laki-laki. 17 tahun.”
Kata-kata itu yang tertera di lembar buku yang Vivo baca. Badan Vivo bergetar hebat. Dan untuk pertama kalinya, selama ia menjadi malaikat, keinginan itu muncul. Melawan takdir.
Vivo tak bisa bayangkan, andaikan Faris benar-benar sudah tiada, apa yang akan terjadi pada keluarganya. Siapa lagi yang akan menopang keluarganya di saat seperti ini. Tidak. Itu tak boleh terjadi.
Vivo memusatkan pikirannya. Seperti yang pernah di cerita kan oleh ayahnya dulu. ‘Pusatkan pikiranmu. Tetapkan hatimu. Yakini bahwa memang itu yang kamu inginkan’, ucap ayahnya.
Jika malaikat ingin melawan takdir, berarti malaikat telah melanggar peraturan utama di dunia malaikat kematian. Ia tak tahu hukuman apa yang akan di terimanya. Karena selama ini belum ada satupun malaikat yang berusaha untuk melawan takdir.
Ia yang pertama. Ia akan tercatat menjadi malaikat pertama yang akan melawan takdir. Vivo tahu. Dewa kematian pasti akan marah besar kepadanya. Tapi ia tak peduli. Ia harus menyelamatkan Faris. HARUS!
Vivo terus memusatkan pikirannya. Menetapkan hatinya. Dan meyakini bahwa ia melakukan tindakan yang tepat. Menolong manusia yang memang harus ia tolong.
“Di mana ada takdir kematian, di situ pasti akan ada kematian”.
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Vivo. Seperti ada yang sedang membisikkannya. Tapi ia tetap memfokuskan pikirannya dan terus menutup matanya sambil mendekap buku catatan kematian berwarna keemasan itu. Hingga…
“Braakk!”
Vivo kaget. Ia tak percaya ia tak berhasil menyelamatkan Faris. Vivo pun membuka matanya secara perlahan. Badannya terasa lemas. Pertama kalinya malaikat ingin melawan takdir, tapi ternyata gagal. Dewa kematian pasti amat murka.
Rasanya ia ingin menangis. Bagaimana perasaan ibu dan adik Faris ketika mengetahui tumpuan hidup mereka telah meninggalkan mereka. Entah kenapa, Vivo merasa bersalah dengan ini. Ia merasa gagal.
Ketika matanya telah terbuka seluruhnya, betapa kagetnya ia ketika ia melihat Faris berada di antara manusia-manusia yang tengah berkerumun itu. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, meyakini apa yang ia lihat bukanlah hanya sekedar ilusi akibat ia yang merasa amat bersalah.
Tapi itu semua nyata. Faris masih hidup. Ia sedang menolong seorang kakek yang tergeletak berlumuran darah. “Di mana ada takdir kematian, di situ pasti akan ada kematian”. Akhirnya, ia paham maksud kalimat ini. Ia berusaha tersenyum ketika roh kakek itu terangkat dari raganya dan memberikan senyum kepadanya. “Maaf kek. Maaf.”, ucap Vivo sambil menunduk sedih.
Akibat perbuatan dia, seorang manusia yang takdirnya tidak meninggal sekarang, harus meninggalkan raganya. Kakek itu memberikan senyum lembut dan memberikan tatapan seakan-akan berkata ‘tidak apa-apa’. Hingga akhirnya tubuh kakek itu menghilang.
Vivo menatap punggung Faris yang tengah berusaha menolong kakek itu. Vivo tidak merasa menyesal telah menolong manusia seperti Faris. Karena ia tahu, akan banyak orang yang akan merasa kehilangan sosok seperti Faris. Dia belajar akan satu hal karena ini. Betapa kekuatan cinta mengalahkan segala-galanya.
Lamat-lamat, Vivo mendengar seperti bisikan, “Vivo kembali ke sini. Sekarang!”, itu dewa kematian. Dan samar-samar bayangan ayahnya yang sedang marah muncul di kepalanya.
Hukuman apa yang menanti dirinya. Ia tak tahu. Ia akan menerimanya dengan lapang dada. Ia akan bertanggung jawab dengan apa yang telah ia lakukan.
Sekali lagi, ia tersenyum ke arah Faris.
“Terima kasih Faris. Karena engkau aku baru menyadari bahwa masih ada cinta di dunia ini. Terima kasih…”
“Vivo… cepat!”.
