Sepotong Hati
Kukirimkan secuil rembulan sebentuk hati kepadamu sebagai bukti cintaku padamu. Semalam aku telah terbang ke langit dan mencuri secuil rembulan yang kini kubungkus dalam sampul warna ungu. Semoga kau mau menerimanya. Dan jika nanti malam ada yang kehilangan rembulan, itulah rembulan yang kupersembahkan untukmu.
“Hey!” Kedatangan Nala secara tiba-tiba berhasil mengagetkanku, membuatku menutup buku diary berwarna ungu, mengakhiri kalimat curhatanku.
“Eh? Hey, Nala!” Aku menyunggingkan senyum ramah kepada Nala. Senang atas kehadirannya. Nala itu sahabatku dari kecil. Benar-benar dari kecil. Aku teringat saat kami berumur 8 tahun, aku membantunya menerbangkan layang-layang.
“Rani! Nanti kalau aku hitung satu sampai tiga, kamu lepass layang-layangnya ya!” Nala berteriak dari seberang lapangan. Aku mengacungkan jempol sebelah kanan ke arahnya sebagai tanda aku mendengar perintahnya.
Aku juga masih ingat, ketika Nala meninggalkanku sepulang mengaji di musholla, aku menangis sambil berlari mengejar Nala. Sementara Nala tertawa puas berhasil membuatku takut.
Selalu bersama dari kecil membuat kami terlihat sperti adik kakak. Nala selalu menjagaku selayaknya kakak menjaga adik. Pernah waktu itu sepulang sekolah, kami berjalan bersama menuju rumah dan untuk mempersingkat perjalanan, kami memotong melewati jalan kecil. Sial, ada anjing liar berjaga disana, Nala menghalau-halau anjing dengan ranting pohon yang ia temukan di jalan. Ia bertingkah seolah super hero yang sedang membantu orang yang meminta pertolongan. Sadar cara itu tidak akan berhasil, akhirnya Nala berteriak “Lari Rani!!!Ayo!!!” Kemudian ia menarik tasku, membuatku hampir terjengkang. Dia selalu ada dan siap untuk melindungiku.
Waktu berjalan begitu cepat, menghantarkan kami dari bocah yang gemar menarik ingus menjadi remaja yang gemar berdandan demi mendapatkan perhatian dari lawan jenis masing-masing. Tidak ada yang berubah. Semua tetap sama. Hanya saja aku, menganggap Nala lebih dari seorang kakak dan sahabat.
“Lagi nulis apa, Ran?” Nala bertanya sambil memandangi buku berwarna ungu yang aku pangku.
“Nulis jadwal khotbah.” Aku menjawab bercanda sambil memasukkan buku itu ke dalam tas.“Nanti pulang sama siapa, Ran?” Pertanyaan ini selalu Nala lontarkan padaku sepulang kuliah.
“Cari ojek aja kali, ya? Nggak mungkin aku ngekor kamu terus. Nanti Bianca merasa keganggu lagi.” Aku menjawab jujur. Karena, memang tidak mungkin bila setiap hari aku nebeng mobil Nala. Apalagi Nala juga mengajak Bianca, yang ada aku dan Bianca sama-sama merasa tidak enak.
“”Ya udah, hati-hati ya, Ran!” Tidak lama setelah itu, Bianca datang.
“Hai Rani!” Ia datang langsung menggandeng tangan Nala. Ia juga melemparkan senyum ramah kepadaku.
“Hai juga Bianca!” Tidak mau kalah aku juga melemparkan senyum teramahku.
“Habis kuliah mau kemana, Ran?” Seperti biasa, Bianca membuka percakapan. Ia memang gadis yang ceria.
“Langsung pulang kok, Bi.” Aku menjawab seadanya. Kemudian ia menawarkan ajakan yang terdengar tulus dan ramah.
“Mau bareng?” aku menggeleng, karena aku memang enggan untuk ikut bergabung dengan mereka.
“Yaudah, kalau gitu kami duluan ya, Ran?” Bianca melambaikan tangan ke arahku, akupun melakukan hal yang sama melambaikan tangan ke arahanya. Kemudian mereka berdua berjalan menjauhiku sambil bergandengan tangan.
Nala dan Bianca merupakan pasangan serasi. Aku paham betul betapa Nala mencintai Bianca dan sepertinya Bianca juga sangat menyayangi Nala.
Dan aku juga mencintai Nala. Jatuh cinta kepada sahabat sendiri itu sakit. Tidak akan ada yang bisa mendengar jeritan hati meronta memanggil namanya agar tetap tinggal. Tidak bisa berkata jujur karena keadaan tidak mungkin berubah. Yang bisa aku lakukan hanya mencintai dalam diam.
Aku kemudian pulang menggunakan ojek. Sampai di rumah aku melihat papa duduk membaca koran di ruang tamu. Aneh, tidak biasanya Papa ada di rumah jam segini.
“Assalamualaikum, Pa. Kok tumben sudah pulang?” Aku menghampiri Papa dan mencium tangannya.
“Waalaikumsalam. Duduk dulu sayang. Papa mau bicara.” Aku menuruti perkataan Papa dan duduk di hhadapannya.
“Sejak Ibu meninggal kamu dan papa sama-sama merasa sepi. Papa juga sering meninggalkan kamu sendiri di rumah saat papa ada urusan ke luar kota. Sebenarnya Papa tidak tega harus meninggalkan kamu sendirian tiap sebentar. Papa sudah mengatur semuanya, bisnis papa, sekolah kamu, semuanya sudah papa atur. Insyaallah minggu depan kita akan pindah ke Kanada. Disana masih banyak saudara Ibumu, jadi papa tidak perlu khawatir. Disana kamu banyak yang menjaga.”
Aku berusaha mencerna setiap kata yang papa ucapkan. Pindah ke Kanada, itu berarti aku akan meninggalkan semua yang ada di sini. Termasuk, nala. Awalnya aku merasa tidak yakin. Namun, mungkin ini adalah cara yang tepat untuk menghilangkan perasaanku pada Nala secara perlahan. Semoga ini memang keputusan yang tepat.
“Rani? Bagaimana?” Suara lembut Papa menyentakkanku dari lamunan singkat.
“Ehiya, Pa. Rani ikut apa kata Papa aja.”
Seminggu terasa begitu cepat. Besok adalah hari terakhir aku menginjakkan kaki di kota ini. Aku belum mengatakan apa-apa kepada nala. Ia sama sekali tidak tahu aku akan pergi jauh. Aku sendiri juga tidak tahu harus mengatakan dengan cara bagaimana perihal kepindahanku ini. Aku juga masih bingung atas perasaanku padanya. Perlukah ku beberkan semua rasa atau biar kupendam sendiri.
Aku menyobek lembaran diary yang sebelumnya telah aku tulisi dengan kalimat puitis bertajuk rembulan sebentuk hati. Aku juga menulis beberapa kalimat di kertas baru.
Nala. Aku minta maaf bila aku terlambat memberitahu perihal kepindahanku ini kepadamu. Terimakasih untuk bertahun-tahun yang telah kita lewati bersama. Terimakasih kamu selalu menjadi malaikat pelindung bagiku. Terimakasih telah mengajarkanku banyak hal dan menyadarkanku bahwa dunia tidak hanya sebatas mata memandang. Kamu selalu menganggapku adik dan aku bersyukur atas itu. Namun, maaf hatiku dengan lancang berani mencintaimu. Sungguh tidak tahu diri. Kau telah baik menganggapku dan melindungiku seperti benar-benar adikmu. Tetapi aku malah berlebihan memintamu untuk mencintaiku. Tenang nala. Aku sadar. Tidak akan ada yang berubah. Aku tetap adikmu. Kau tetap milik Bianca dan kita tetap sahabat. Semoga waktu mengizinkan kita bertemu lagi. Salam, Ranisa.
Aku memasukkan surat ini bersama dengan sobekan kertas dari diaryku ke dalam amplop berwarna ungu. Kemudian menitipkannya kepada Jo agar diberikan kepada nala besok.
Dan mungkin, ketika Nala membacanya aku telah pergi membawa sepotong hati yang masih tersisa.
![](https://img.wattpad.com/cover/99040429-288-k672501.jpg)