Kebahagiaan tumbuh menyeruak melihat putri pertamaku mulai tumbuh besar. Sekarang ia kelas 1 SD. Delinda namanya. Setiap pagi aku menghantarkannya ke sekolah dengan penuh harapan baik dan do'a-do'a ketulusan. Semoga kelak engkau menjadi manusia berguna. Dengan gembira pula, setiap pukul 10.30 WIB aku meminta izin dari atasan agar bisa menjemput Delinda.
Aku meminggirkan mobilku, memarkirkannya di tempat yang kira-kira tidak akan mengganggu aktifitas pengguna jalan lain. Waktu menunjukkan pukul 10.50, masih 10 menit lagi Delinda baru keluar kelas. Aku memilih menunggu sambil berkeliking melihat keadaan sekitar sekolah anakku.
Di sudut tempat parkir di luar pekarangan sekolah, aku melihat wanita paruh baya berusia sekitar 40an. Penampilannya begitu acak-acakan. Bahkan aku sempat berpikir bahwa mungkin ia tidak waras. Rambutnya gimbal seolah tidak pernah disisir, baju nya juga robek di bagian pundak, belum lagi ia tak mengenakan alas kaki sama sekali.
Sebenarnya ini bukan kali pertama bagiku melihat sosoknya. Aku pernah melihatnya beberapa kali diwaktu yang sama. Iya selalu menunggu di sudut parkiran ketika waktu mendekati pukul 11 dan akan pergi setelah waktu melewati pukul 12.
"Bundaaa..." Delinda datang dan memelukku dari arah belakang. Teriakannya membuatku mengakhiri pengamatan terhadap wanita paruh baya itu.
"Ehh, Delinda sayang." Aku membalikkan badan dan membalas memeluknya. "Bagaimana sekolahmu hari ini sayang?"
"Seperti biasa, Bunda. Guruku baik-baik dan teman-temanpun juga." Aku mengangguk-angguk mendengar ceritanya. "Bunda, ayo pulang. Delinda sudah lapar."
"Lapar? Ayo pulang." Aku menggandeng tangan mungilnya, berjalan memasuki mobil.
Dalam mobil Delinda bertanya kepadaku, kenapa tadi aku memperhatikan Bu Nak.
Kemudian aku bakik bertanya "Bu Nak siapa?"
Delinda mengecilkan volume musik dan mulai bercerita "Yang tadi duduk itu Bu Nak."
"Kok kamu bisa tau namanya Bu Nak?"
"Iya, dia selalu manggil anak-anak yang lewat dengan sebutan 'nak' makanya Delinda beri nama Bu Nak."
Aku melirik ke arah Delinda, memastikan ia tetap menggunakan safety belt nya. Kalau asik bercerita, Delinda suka sengaja melepas safety belt. Katanya agar lebih leluasa memeragakan kejadian yanh sedang ia ceritakan.
"Kamu pernah dipanggil sama Bu Nak?"
"Pernah, sering kok Bun." Delinda menjawab pertanyaanku sambil mengeluarkan rubik ukuran 3x3 dari tas merah jambunya. Mungkin ia merasa bosan, pikirku.
"Kalau dipanggil kamu jangan datang ya. Bila perlu kamu jauh-jauh aja. Nggak usah dekat-dekat sama Bu Nak tadi. Dia kayaknya kurang waras." Aku mengembalikan volume mesik ke posisi awal sebelum dikecilkan oleh Delinda.
"Bu Nak bak Kok Bunda." Delinda memainkan rubiknya, memutar ke arah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang.
"Intinya jangan dekat-dekat."
*
Berminggu-minggu kemudian aku tidak bisa menjemput Delinda tepat waktu karena ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum jam istirahat kantor. Akhirnya aku baru tiba di sekolah Delin pukul 11.47. Sekolah Delin terlihat sepi. Di tempat biasa menunggu jemputan juga tidak ada lagi anak yang menunggu. Aku mencari Delin ke sudut lain. Di depan mataku aku melihat Delin hampir memasuki mobik yang aku tidak ketahui sama sekali siapa pemiliknya.
Aku berusaha berlari menghentikan Delin, namun jarakku cukup jauh untuk bisa menghentikannya tepat waktu. Aku mulai panik. Ntah darimana datangnya, wanita paruh baya yang ku sangka tidak waras menarik tangan Delin, menggendong dan membawanya pergi menjauh dari mobil itu. Refleks aku berteriak "Delindaaaa...."
Teriakanku membuat mobil yang hampir dimasuki Delin melaju meninggalkan tempat kejadian. Aku berlari mengejar Delin. Merampasnya dari gendongan Bu Nak, membawa ia ke dalam mobil. Aku begitu panik sampai-sampai lupa berterimakasih kepada Bu Nak karena telah menyelamatkan Delin.
Merasa tidak enak hati, besoknya aku pergi mencari keberadaan Bu Nak. Keesokam harinya, aku menunggu Bu Nak di tempat ia biasa duduk. Namun tidak seperti biasa, Bu Nak tidak ada di sana. Bahkan sekarang sudah lewat jam 12.
Kemudian aku mencari Bu Nak dengan bertanya kepada watga sekitar sekolah, untungnya ada bapak-bapak penjual mainan yang mengetahui rumah Bu Nak.
Di depan rumah kayu Bu Nak terdapat bendera putih, aku sama sekali tidak menyangka bahwa bendera putih itu ditegakkan sebagai tanda kematian Bu Nak. Menurut cerita tetangga Bu Nak meninggal akibat menelan cairan pembersih lantai. Ia sengaja melakukannya untum dapat menyusul anaknya yang meninggal 2 bulan lalu akibat diculik di depan sekolah saat Bu Nak telat menjemput.
Mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa Bu Nak selalu menanti waktu pukul 11.