Nita, siswi kelas 5 SD. Ceria, bijak--untuk anak seumurannya--dan mudah bergaul. Sepulang sekolah ia tidak pernah mau diantarkan ke rumah. Ia lebih memilih pulang ke rumahku. Ketika ditanya mengapa, jawabannya sederhana.
"Di rumah Nita tidak ada orang. Mimi Pipi Nita belum pulang kerja."Nita sendiri di sekolahkan di sekolah swasta berprogram fullday school dengan tujuan sekolah itu sekalian menjadi tempat penitipan anak. Wajar saja, bila di sekolah negri, Nita akan pulang pukul 12.30 dan itu mengharuskan Nita menyendiri di rumah setengah hari.
Nita akan menunggu di rumahku sampai mimi atau pipinya pulang. Sering sekali orangtuanya tidak tahu Nita berada di rumahku. Suatu ketika, saat pipinya pulang kerja dan tidak menemukan Nita, beliau langsung menelepon Nita, menanyakan keberadaannya. Saat itu barulah aku mengantarkan Nita pulang.
Hari-hari berikutnya terus begitu. Bahkan, pipi Nita sudah mempercayakan Nita kepadaku. Tiap kali Nita berada di rumahku. Pipinya akan selalu meneleponku sekedar menanyakan keadaan Nita, apakah ia lapar atau mungkin kelelahan. Suaranya khas menggambarkan rasa rindu pada putri semata wayangnya.
Suatu malam ketika pipi dan mimi Nita tak kunjung pulang, aku mengajak Nita berbicara, berusaha mengusir kesedihan atau mungkin kekhawatiran yang sedang menyergap Nita.
"Nita ingin punya adik?" Nita mengangguk dengan wajah datar.
"Kalau punya adik, Nita ingin laki-laki atau perempuan?"
Nita menjawab laki-laki. Kali ini lebih berekspresi dari sebelumnya. Namun, masih belum terlihat senyun dibibirnya.
"Kenapa?" Aku bertanya, berusaha memancing jawaban lebih panjang dari Nita. Aku berhasil. Nita bilang, ia tidak ingin kalah cantik. Kalau adik Nita perempuan ia bisa lebih cantik dari Nita. Nita ingin adik laki-laki saja.
"Seandainya adik Nita perempuan, Nita mau bagaimana? Nita berikan saja adik Nita kepada kakak ya. Nita kan tidak ingin adik perempuan." Tiba-tiba Nita berteriak.
"Jangan! Tidak boleh! Kalau adik Nita perempuan, nanti Nita sayang-sayang. Nita bisa dandan biar tidak kalah cantik."
Aku tertawa melanjutkan menggoda Nita "Sudah. Adiknya untuk kakak saja." Nita mulai tersenyum "Tidak. Tidak. Tidak boleh."
Terdengar suara klakson dari luar. Itu mimi Nita. Aku sempat membatin dalam hati, tumben mimi Nita jemput ke rumah. Hari ini pipi Nita juga sama sekali tidak ada menelepon.
Hari demi hari. Aku dan Nita kian akrab. Ia kuanggao seperti adikku sendiri. Pulang sekolah sudah pasti menunggu di rumahku. Namun, ada satu kebiasaan yang hilang. Ayah Nita tidak pernah lagi menelepon.
Hari itu Nita tampak murung.
"Nita? Nita ingin menelpon pipi? Ini kakak ada pulsa. Pakai saja." Nita menggeleng."Pipi Nita belakangan jarang telfon. Kenapa?" Nita mengangkat bahunya "Kakak tanya saja sama mimi Nita." Aku menggeleng.
" Tidak lah. Kakak tidak ingin tahu." Nita beranjak dari tempat duduknya berjalan mendekatiku, kemudian duduk di sebelahku. "Kata mimi Nita, apapun yang terjadi antara mimi dan pipi di rumah, Nita tidak boleh cerita kepada siapapun. Termasuk pipi yang jarang pulang ke rumah..." aku terhenyak. Seolah paham situasi apa yang Nita hadapi sekarang. "...jadi kakak ingin tahu. Tanya saja pada mimi Nita. Mimi pasti bilang. Tidak akan marah." (end)
Nitaku sayang. Hiduplah dengan kuat. Kali ini waktu memang dengan kejam datang menggantikan kebahagiaan dengan salam penuh luka menuju kepedihan. Namun, percayalah waktu akan datang menawarkan aroma kebahagiaan. Nita lebih berharga dari apapun yang waktu antarkan dengan kejam.