Sepertinya tidak hanya sekolahku yang berguncang, tapi seiisi kotaku. Speaker kelas bergumandang " emergency!! Emergency! ". Anak anak dari kelasku berlarian kesana kemari, turun dari tangga berdorong dorongan, hingga ada yang terjatuh. Dan aku, aku hanya bisa tercegang di dalam guncangan kelas.
" hei Wizzy! Cepat kemari! " seseorang memanggilku. Aku kebingungan mencari Sumber suara itu. Aku merasa asing dengan suaranya. Kulihat di sekelilingku, kosong. Tidak ada yang masih di kelas. Tapi, itu Steve. Dia sudah berada di pintu kelas.
"Hey Wizzy cepat! "Ulangnya. Suasana kelas yang sudah sepi dan kosong baru aku sadari. Segera ku berlari menghampiri Steve sebelum atap di atas tempat dudukku menimbunku."Ayo kita turun" ajak Steve. Ia menarik tanganku dan membawaku ke lapangan. Disini sudah ramai yang berkumpul.
"A, a, a, a da apa ini? "Tanya ku tergagap entah kepada siapa. Jantungku masih berdegup kencang saat ini. Steve hanya menaikan bahu untuk menjawabku.
"Baiklah anak anak, tenang! Gempa telah berhenti, untuk hari ini kalian boleh pulang ke rumah masing masing karena kondisi sekolah masih berantakan dan ada beberapa yang hancur" Bu Marylin kepala sekolahku memberi arahan. Oh, yang tadi itu gempa. Tapi, guncangannya cukup besar sekitar 6-7 sekalaliter.
Aku mengambil tasku di kelas yang berwarna pink suram ini, lalu berjalan pulang. Langkahku gontai berjalan keluar dari lingkup sekolah.
Tiba tiba tanah yang kuinjak berguncang lagi! Seakan akan ia hendak mengeluarkan isi perutnya. Kekuatan guncangan lebih besar dari tadi. Apakah ini gempa susulan?.
"Duarrr!!" ledakan bergumandang di kota. Aku melihat sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah ku lihat sebelumnya. Ia keluar dari dalam tanah. Semua orang terheran, terkesiap, takut dan hanya bisa terdiam sambil memeluk sanak saudara mereka.
Benda itu perlahan lahan keluar ke permukaan! Sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas. Itu sebuah mesin. Ia naik ke permukaan lalu mamancarkan sinar yang dalam sekejap manusia menghilang entah kemana. Mesin itu berkali kali lipat besarnya dariku. Semua orang berlarian panik. Kemudian menyusul robot robot kecil seukuran manusia dewasa yang menembak laser kesana kemari. Dan lagi lagi aku hanya bisa terpaku, tercengang menjadi diriku. Seseorang menarik tanganku.
"Kemari Wizzy, ikut aku!"
Larinya sangat cepat. Aku keteteran mengikutinya di belakang. Rambut tebal berwarna cokelat pudar, serta kulit tangannya yang mengenggam tanganku. Tas berwarna biru. Aku tidak ragu.Ia menoleh kepadaku. Steve!
Kami berlari secepat mungkin, melewati apa saja yang ada di sekitar kami. Aku menahan agar tidak melihat kebelakang. Aku yakin, aku tidak mampu melihat kekacauan yang telah terjadi beberapa detik lalu.Steve membawaku ke sebuah jalan kumuh di antara dua bangunan yang tinggi. Nafas kami masih tidak teratur. Kami berdiam diri sejenak.
"Apa kau sebodoh itu? Apa kau selalu begitu? "Steve memulai pertanyaan yang membuatku kesal.
"Apa itu masalah buatmu"
"Tapi... "
"Tapi apa? "Potongku.
"Tidak apa apa. Maafkan aku"Kami berdiam diaman lagi, merenungkan nasib diri kami. Kemudian aku teringat sebuah nama. Nama seseorang yang sangat kusayangi dan berarti besar untukku.
"Lizzy! "Seruku
"Hei kau mau kemana? "Steve mencegahku pergi dengan satu tangannya memegang tanganku.
"Kau bilang aku bukan urusanmu. Jadi, jangan menghalauku! "Lagi lagi aku membentak Steve. Emosiku sangat tidak stabil saat ini. Ini bukan diriku.Steve hanya bisa terduduk kembali, ia memalingkan pandangannya dariku. Aku tahu ia sedang merasa sangat kesal dan marah padaku.
"Terima Kasih kau tidak menghalauku lagi ". Lalu aku pergi meninggalkan Steve. Di ujung jalan sempit ini, aku menoleh sebentar kearah Steve. Ia tidak bergerak sedikit pun dari posisinya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
War of The City
Science Fiction#5 dalam Science Fiction (25 januari 2018) #10 dalam Science Fiction (22 Juni 2017) #16 dalam Science Fiction (9 mei 2017) "Duarrrr!!!"ledakan bergumandang di seluruh kota. Perut bumi mengeluarkan apa yang dia pendam selama ini. Beratus ratus mesin...