Di selembar putih bersih ini kutuliskan sebuah harapan baru dengan tinta yang pertama. Aku berharap "Sang Pangeran" datang tepat waktu dengan kuda putihnya. Sehingga ku tak perlu takut memikirkan sakitnya diabaikan. Karena dengan hadirnya, "bahagia" adalah rutinitasku setiap harinya.
"Dek, ayo turun! Kita makan malam bareng! Kakak tunggu ya!"
Setelah panggilan itu berlalu. Tidak ada satupun suara yang menyahut atau membalasnya. Si "Dek" itu masih bersemayam tenang di kamarnya. Gadis itu masih sibuk menorehkan tinta pulpen di atas kertas diary nya.
"Nin, lu mau berapa lama lagi di kamar sih? Elahh. Galau sih galau aja, jangan mendem di kamar sendirian gitu deh, kalo lu sakit kan ntar gue yang repot dek." Panggilan itu datang lagi tapi kali ini dengan durasi yang lebih lama.
Tiba tiba pintu itu terbuka.
"Ish! Iya iya gue keluar! Bawel amat sih ziaa! Trus yang galau itu siapa coba? Hmm?" Balas Anin.
"Dek, dari lu lahir sampe sekarang lu itu udah jadi adek gue. Ya jelas gue tau lah sikap elu. sikap orang yang cintanya ga terbalas itu kayak apa hahaha" jelas nya.
"Lu ngomong lagi kayak tadi, besok besok gue gamau ya buatin lu sambel belacan lagi. Berani ? Hmm? Awas aja lu pen." Balas Anin dengan sombongnya berlalu pergi.
"Eh, hehe. Iya iya, becanda doang kok. Buatin ya besok ya? Jangan ngambek dong." Bujuk pria itu.
"Ya, ya, ya." Kata Anin ogah ogahan.
Yap, pria tadi itu adalah kakak Anin, Achazia Dipendri Mahendra. Dipanggil Zia jika bersikap baik pada Anin. Dan dipanggil Ipen jika bersikap buruk pada Anin.
***"Kak, tolong ambilin ayam itu dong satu." Pinta Anin.
Zia pun menuruti kata Anin dengan menyodorkan paha ayam kepadanya. "Nin, sambal belacan buatan lu enak bet deh nin. Adek gue yang paling cantik ini emang paling bisa ya haha." Kata Zia.
Zia memang sangat menyukai sambal belacan. Apalagi jika Anin yang membuatnya. Maka dari itu, mudah saja bagi Anin untuk mengancam Zia. Tarik saja semua stok sambal belacan buatannya, maka Zia rela melakukan apapun untuk mendapatkannya kembali.
"Lu ada maunya nih? Ish najiss. Eh, by the way mama papa tadi udah ada nelfon?" Tanya Anin sambil melahap paha ayam. "Tadi siang ada, pas lu tidur. Mereka nanyain kabar lu, sekolah lu gimana." Jawab Zia. "Lain kali bangunin aja kali gue. Anin kangen sama mama papa soalnya." Balas Anin.
Ya, orang tua mereka pindah ke Paris karena urusan bisnis mereka yang tak bisa ditinggalkan. Tapi, keluarga ini bukanlah keluarga yang di sinetron sinetron. Mama papa Zia dan Anin rutin menelfon mereka untuk sekedar menanyakan kabar. Mereka tidak mau Anin dan Zia beranggapan bahwa orang tua nya melupakan mereka.
"Oh iya, Nin. Lu jadi kan ikut club voli? Kemarin udah gue daftarin. Besok udah mulai latihan. Lu jangan lupa ya, trus latihannya yang giat, biar lu buruan kurus tuh! Haha." Ledek Zia.
"Yaelah, lu mah tenang aja kali Zi. Gue sekalian mau cuci mata, jadi gue bakalan semangat tanpa lu pinta, wlee." Balas Anin seraya memeletkan lidahnya.
"Yee, asal lu jangan di P-H-P in lagi aja deh, wlee." Sahut Zia lagi.
Kali ini Anin tak membalasnya. Karena di dalam hatinya, ia juga mengharapkan itu.
***"Dek, woyy bangun lu!" Panggilan itu muncul lagi di pagi hari. "Buruannn! Ini udah jam 7 tau ga, gue ga mau telat gara gara lu ya, Nin." Lanjutnya.
"Ish, iya iya ah!" Anin pun bangun dengan wajah kesalnya. "Lu mandi abis itu turun kebawah, kita sarapan bareng. Ngerti adik besarr?" Kata Zia sambil mengacak acak rambut Anin. "Ziaaaaa!! Ah!!" Suara Anin menggema ke seisi rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubble Gum Girl
Teen FictionTentang bagaimana mengartikan perasaan disaat hati menginginkan yang indah sedangkan logika berkata "tidak mungkin". Perumpamaan hidup seperti permen karet yang habis manis sepah dibuang sudah terlalu mainstream namun pernah Anin jalani. Tapi, apaka...