Kita terlahir untuk menjalankan peran masing masing dari skenario-Nya. Jadi, mari jalankan peran itu dengan cermat seakan ada juri yang mengawasi. Juri yang tidak diketahui. Dan yang kutau pasti juri itu bukan salah satu dari kita.
Kabel putih menggantung dari telinga sang pemilik. Alunan lagu yang mengalir dari kabel itu menenangkan hati pemiliknya. Dagu tertahan di tangkupan kedua telapak tangan di atas meja. Meja yang penuh dengan tinta pulpen dan spidol. Terkadang tertulis nomor hp bahkan puisi indah di permukaan kasar itu. Dia duduk dengan nyaman seraya menggoyangkan kaki seakan sedang bahagia. Tetapi jauh di lubuk hatinya, keadaan itu berbeda 180 derajat.
Tiba tiba senandung dalam hatinya terhenti. Pasalnya, alunan lagu yang ia dengar tergantikan oleh nada panggilan telfon dari seseorang. Ia pun mengangkatnya.
"Anin! Lu dimana sih? Gue udah nunggu lu tau ngga daritadi!" Jawab Vani kesal.
"H-ha? Lu dimana sih emang?" Tanya Anin bingung. "Nin, please deh. Jangan bilang lu lupa kalo sewaktu istirahat kita janjian ketemu di perpustakaan?!" Suara itu semakin melengking terdengar di telinga Anin.
"Ya ampun, Van! Gue lupa seriusan! Astaga! Sorry sorry.. O-oke deh gue otw yah. Lu stay dulu disana, jajan apa dulu kek ya, ya? Bye!" Anin langsung menutup telfonnya karena dia sudah tau reaksi selanjutnya dari Vani.
Tutt.. Tutt..
Nada itulah yang terdengar oleh Vani diseberang sana. "Watdee--.. Ya ampun, Nin! Ngapain aja sih lu di kelas lukis, ha?" Dumel Vani.Yap, pada hari tertentu mereka berbeda kelas. Kelas yang membedakan minat dari siswa di sekolah itu. Hanya beberapa jam saja yang disediakan pihak sekolah untuk guru mengajar di kelas minat tersebut. Anin memilih kelas lukis sedangkan Vani memilih kelas memasak.
Sesampainya disana, Anin langsung mencari Vani. Dan, yap, Vani sedang menyeruput segelas minuman di bangku kantin dekat perpustakaan. Dia menuruti apa yang Anin perintahkan.
"Hey! Vani ku yang unyu! Masih haus? Mau gue beliin satu lagi?" Rayu Anin. "Ga usah ya Anin, ga usah pasang muka sok polos lu yang ngeselin banget itu, hhh." Kali ini Vani memasang wajah kesalnya sembari menyipitkan matanya.
"H-he-hehe. Yaudah deh, gue pesan minum dulu ya,". "Bu, bu! Bubble Gum Milkshake nya satu ya!" Teriak Anin kepada Ibu kantin.
"Lu ga bosen dari dulu tiap pesan, minumnya itu mulu?" Tanya Vani heran.
"Yee, ini enak tau!"
Setelah puas minum di kantin, kini, Anin tengah memasuki perpustakaan bersama sahabatnya, Vani. Dia mencari sudah hampir 30 menit, tapi tak satupun buku yang ia ambil.
"Lu cari buku apaan sih? Daritadi gue pusing liat lu muter sana, muter sini. Jangan jangan lu ke perpustakaan cuma mau liatin cogan cogan ya?Hmm? Ngaku lu!" Muka Vani sudah selayaknya detektif saat menanyai Anin.
"Ish! Apaan sih, gue itu nyari buku tentang diet cepat dan tepat tau ga. Daritadi ga ketemu ketemu, bantuin gue dong." Pinta Anin. "Lu percuma minjem buku segudang juga, kalo ngemil lu ga bisa ditahan sama aja Anin!" Vani sudah selayaknya ibu ibu yang menasehati anaknya. Sedangkan Anin hanya bisa mendengus kesal mendengar ocehan sahabatnya itu. Tapi, benar juga.
"Udah ah, Nin! Kita masuk ke kelas aja sekarang, jam istirahat udah abis daritadi tau ga." Pinta Vani.
"Ya ampun, Van. Lu ngapain ketakutan begitu, ini les matematika kan? Elahh.. Bapak itu juga jarang masuk juga, santai aja." Senyum jahil Anin mengembang di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubble Gum Girl
Teen FictionTentang bagaimana mengartikan perasaan disaat hati menginginkan yang indah sedangkan logika berkata "tidak mungkin". Perumpamaan hidup seperti permen karet yang habis manis sepah dibuang sudah terlalu mainstream namun pernah Anin jalani. Tapi, apaka...