Coo(kiss)

80 12 4
                                    

Dengan langkah gontai, Shavanna berjalan menuju kelasnya. Hari ini dia diantar oleh Irsyad. Setelah makan malam kemarin, Bunda dan Tante Aida sepakat bahwa untuk beberapa waktu kedepan, dia akan diantar jemput Irsyad saat ke sekolah. Shavanna hanya bisa diam. Mendebat bunda? Jangan harap bisa menang. Padahal pagi selalu menjadi kesenangan tersendiri baginya. Dia akan duduk diatas montor Kafka lalu mereka mulai membicarakan apa saja, mengeluhkan ini itu, dan menertawai hidup. Tapi sekarang?

Dia harus melihat wajah penuh senyum dari Irsyad yang menyambutnya di dalam mobil. Bukan. Bukan Irsyad tidak tampan, dia tampan, sangat sopan, dan terlihat begitu dewasa. Tapi yang dicari Shavanna bukan itu. Dia ingin ada orang yang mendebatnya saat dia yakin pendapatnya yang paling benar, dia ingin ada orang yang mendukung ide gilanya saat orang lain bahkan tidak mampu memimpikannya. Dan tampaknya Irsyad adalah orang yang akan selalu ada di jalan yang lurus. Akan sangat membosankan bukan?

"Pagi Kapten"

"Aw"

Seruan plus tabokan yang cukup keras itu membuyarkan lamunan Shavanna. Sedangkan pelakunya hanya nyengir kuda.

"Diandra, kalo gue mati gara-gara tabokan loe, gue pastiin loe orang pertama yang bakal nyusul gue"

"Hehehe, sebagai temen yang baik gue cuman mau menghindarkan loe dari marabahaya Shava cantiq"

"Marabahaya gigi loe, loe yang malah memposisikan gue di marabahaya"

"PMS ya neng? Elah, galak amat. Apa belom dapet jatah dari Aa' Kafka?"

"Mulut loe Dee. Panggil dia Altair!"

"Uluh, iya-iya Neng Chacha-nya Aa' Kafka"

Shavanna mendengus. Sejak gagalnya rencana mereka ke toko buku kemarin, Kafka memang belum menghubunginya. Sekedar meminta maaf pun tidak. Padahal setelah Tante Aida dan keluarga nya pulang, Dia bahkan sudah membawa secangkir kopi dan begadang di teras rumah untuk menunggui Kafka yang mungkin akan meminta maaf sambil membawa cookies kesukaannya mungkin? Mengingat kemarin mereka tidak sempat bicara baik-baik gara-gara medusa satu itu. Kalau bukan karena Ayah yang keluar rumah untuk mengecek pagar yang sudah terkunci atau belum, mungkin pagi ini dia tidak berada di sekolah, tapi bergelung di bawah selimut karena demam.

"Loe kenapa sih Shav? Galau gak berangkat bareng Altair?"

Shavanna mengangguk lesu.

"Tadi gue lihat tu anak ada di depan SMA Nusantara. Ngapain?"

Shavanna makin cemberut.

"Gue belum cerita ya?"

"Paan?"

"Ntar deh kalo inget"

"Dih loe kok ngeselin"

Diandra menoyor kepala Shavanna dengan gemas.

"Kok loe yang nyolot? Ini kepala tiap tahun di kasih fitrah ya sama bokap, shampoo nya juga mahal. Itu tangan kalo mau megang harus di sterilin dulu"

Diandra menutup mulut. Berakting seolah takjub.

"Jadi selama ini loe pernah keramas? Gue fikir ini rambut cuman dikasih menyan aja"

Shavanna menatap Diandra dengan pandangan khawatir. Seolah-olah sahabatnya ini akan semakin parah jika tidak segera dibawa ke dokter jiwa.

"Loe gak nyadar?"

"Apa?"

"Ini kita lagi ada di koridor anak IPS. Loe gak mau jaga image gitu? Sok-sokan jadi manis nan unyu gitu?"

"Oh my.... gue lupa. Loe kenapa diem aja sih. Kenapa juga gak jalan dari tadi? Ryan udah dateng belom ya? Semoga aja belom deh"

"Bego sih loe. Sekolah itu belajar, baca buku. Bukan nyemil bangku"

Langit JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang