Bab 1: Siapa Kamu

200 98 78
                                        

Gadis dengan kacamata persegi yang sedikit menurun di hidungnya, termenung menatap kertas kosong di depannya. Hingga tangannya terulur meraih benda yang dapat diajaknya untuk menyalurkan seluruh kata yang memenuhi otaknya.

Kamu melarangku memandang ke arah lain selain dirimu. Kutanya, siapa kamu?
Kamu menuntutku berlabuh selalu ke hatimu.
Lalu kutanya, siapa kamu?
Dan ketika aku marah melihatmu yang tak memandangku..
Aku kecewa, kau pindah ke lain hati.
Apa aku harus bertanya, siapa aku--

"Begadang jangan begadang... Tereret." Gadis tersebut menghentikan aktivitasnya pasti, ketika mendengar suara melengking yang muncul tanpa undangan. Ia menekan pulpen hitam di atas kertasnya, diiringi gertakan gigi keras.

"Kalau tiada artinya..."

"Begadang boleh saja.. a-a-a... Kalau sama Nada.."

"Aw.." ringis lelaki dengan gitar cokelat yang melekat di tangannya. Ia mengusap jidatnya kasar, kemudian melihat pulpen hitam yang tergeletak di bawahnya. "Sakit Nad, kalau benjol gimana?" ucapnya sembari meraba kepalanya, memastikan bahwa tak ada benjolan atau luka yang mungkin dapat merubah bentuk kepalanya.

Nada tersenyum miring, menatap lelaki yang kini melompat turun dari balkon kamarnya. "Itu salah lo! Lagian ngapain sih lo ke sini? Gak bosen apa?" Nada melepas kacamata yang sedari tadi menemaninya. "Ganggu."

"Nada selalu kasih pertanyaan yang sama, itu aku baru bosen."

"Jangan duduk situ Nando!" tunjuk Nada dengan kacamata yang ia angkat ke atas. Membuat pantat lelaki dengan celana pendek kotak-kotak tersebut mengapung di udara. "Bisa berantakkan nanti kasur gue." ucapnya sedikit tenang karena melihat Nando yang menegakkan tubuhnya, mengurungkan niatnya untuk duduk di atas kasur king-size milik Nada.

"Jangan disitu juga!!" Nada mendorong Nando yang akan duduk di atas meja belajarnya.

Nando mencebik. "Nggak boleh semua. Terus aku duduk di mana? Di hatimu?" ucap Nando sembari mengerling jahil. Membuat Nada mendesis dengan tatapan sinis.

Jujur, pencegahan ini dilakukan Nada bukan karena ia pelit, tapi hanya untuk menghindari bencana. Pasalnya, Nando ini mempunyai beragam tingkah yang pecicilan dan membuat Nada naik darah setiap melihatnya. Ia tak ingin jika sprei, bantal dan gulingnya berakhir mengenaskan karena sentuhan Nando. Cukup, jendela kamarnya yang sudah pecah akibat ulah Nando dan bolanya.

"Berdiri aja." Nada membenarkan posisi duduknya kembali menghadap meja belajar. Berniat melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda karena Nando. Namun belum sempat menyentuh, kertasnya sudah dirampas oleh tangan tak sopan.

Nada terbelalak. "Nando balikin nggak?"

Nando tersenyum kagum melihat secarik puisi yang tercetak di kertas genggamannya. "Wah, baru."

"Balikin Nando!" geram Nada yang tak berpengaruh bagi lelaki berkaos hitam polos tersebut.

"Siapa.."

"Nando!"

"Aku.." Nando melipat bibirnya dengan tatapan serius. "Kamu melarangku memandang--"

"NANDO PUTRA TRITAMA!" bibir Nando terkatup rapat mendengar suara lantang Nada. Ia tahu, kali ini Nada benar-benar serius. Karena jika Nada menyebut nama lengkapnya, itu pertanda bahwa Nada tak dapat dibantah.

Nada beranjak dari duduknya. "Gue lagi nggak mood sekarang, mendingan lo pulang!" tuturnya yang hanya membuat Nando menganggukkan kepalanya cepat. Kedua tangannya ia angkat seperti koruptor yang tertangkap basah oleh polisi. Namun dengan tangan kiri yang menggenggam gitar, dan tangan kanan yang berisi kertas puisi Nada.

"Ya udah, sana pulang!" lagi-lagi Nando hanya mengangguk tanpa bertindak sedikitpun.

"Pulang Nando!" tukas Nada yang kemudian diiringi suara petir yang menggelegar. Nada tersentak, namun sebisa mungkin ia tetap bersikap santai. "Cepetan pulang. Gue nggak suka." tekan Nada yang disambut anggukan cepat oleh Nando. Ia meletakkan kertas puisi Nada di atas meja sampingnya secara pelan.

Nando pergi, namun sebelumnya ia sempat mengambil bantal cokelat di atas kasur, dan memberikannya pada Nada yang disambut dengan cepat.

Nada berbalik, melihat Nando yang tersenyum sebelum akhirnya melompat keluar. Ia menghampiri jendela kamarnya, dan segera menutupnya rapat. Tak peduli dengan apapun lagi, Nada lantas melompat ke atas kasur. Bersembunyi di balik selimut dengan bantal yang menutupi wajahnya. Ia memejamkan matanya rapat, mencoba mematikan segala panca indranya. Namun samar-samar ia tetap mendengar. Suara lantang, berasal dari luar rumahnya. Tak begitu jelas, karena teredam derasnya rintikan hujan, gencarnya petir, dan padatnya badai malam.

"Nada! Gak ada yang salah di dunia ini! Suka gak suka, terima gak terima, Nada tetap harus hidup dalam kenyataan! Bukan bagaimana cara kamu mempertahankan kebencian, tapi bagaimana cara kamu belajar mengikhlaskan!" dan Nada sangat yakin, kalimat itu terlontar dari lelaki yang kini berdiri di teras rumah Nada. Dengan senyum merekah, walau badannya basah kuyup karena guyuran hujan. Dia, sahabat kecilnya. Nando.

*****

Yang di mulmed itu, Nando menurut pandangan aku ya.. Hehe. Karena kurasa cocok.

Eh, tapi kalau kalian punya pandangan sendiri, Monggo. Bayangin aja siapa yang menurut kalian tepat. Entah aktor dalam/ luar negeri, temen sendiri, sodara, atau mungkin si doi. Bebas, Hehe.

See you.

Citraanggraini99

Bait PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang