Bab 2. Kesalahan

140 64 40
                                    

"Kamu tahu, apa hal yang terlihat tidak adil? Ketika orang lain melakukan kesalahan, kamu pintar mengobarkan emosi. Tapi jika yang berperan sahabatmu, kamu ahli memadamkan emosi. Ketahuilah, terkadang yang membedakan seseorang adalah derajat. Sahabat, dan teman jelas berbeda."

Setelah memarkir motornya, Nando segera berlari menuju lapangan tengah. Untung saja satpam sekolah ini mudah diajak kompromi. Hanya karena selembar kertas warna biru, gerbang sekolah yang semula tertutup menjadi terbuka lebar. Memang mata duitan.

Tapi sepertinya semuanya tak berguna, semua siswa-siswi sudah berbaris di lapangan. Dengan seluruh atribut yang lengkap dan rapi.

Nando berdecak, ia melipir ke dinding sekolah. Mencoba mencari celah agar bisa bergabung dengan barisan kelasnya. Namun sayang, jika Nando langsung berlari ke depan itu tandanya dia cari mati. Karena tak perlu bersembunyi, Nando akan ketahuan secara terang. Melihat seluruh lapangan yang sudah dipadati murid, juga para guru.

Ia hendak berlari ke kiri, namun ia urungkan. Karena terdapat dua guru yang sedang berjalan ke arahnya. Nando mundur, supaya dirinya tak ketahuan. Ia menghentakkan kepalan tangannya, di dinding kanannya. "Sial."

Tak ada jalan lain, yang harus Nando lakukan saat ini adalah kabur. Dan sepertinya, bolos sekolah untuk keadaan darurat seperti ini tidak terlalu buruk. Dengan cepat Nando berbalik.

Damn.

"Eh, mau kemana kamu?!" Nando meringis, karena kerah seragam belakangnya yang ditarik kuat. Membuat ia mau tak mau berbalik menghadap guru berkepala halus tanpa rambut yang serasa silau di mata Nando.

Nando nyengir. "Pagi Pak Robo, apa kabar?"

"Robi!"

"Eh iya, Pak Robi. Apa kabar?"

Robi menggertakkan giginya keras karena Nando yang selalu memanggil namanya tak sesuai kenyataan. Padahal sudah beribu kali Robi mengingatkan. Tapi dasarnya Nando, bandel dan begajulan memang sudah mendarah daging di dirinya. "Kabar saya buruk, apalagi saat saya melihat wajah kamu!"

Mata Nando berbinar terang. "Wah, Pak Robo memang pengertian. Saya doain masuk surga."

Seketika Nando meringis, mengusap lengan yang menjadi santapan geplakan keras dari Robi. "Mau kemana kamu?!"

"Bapak ini gimana sih, katanya nggak mau liat wajah saya. Kenapa saya pulang dilarang?!" ucap Nando memutar balik keadaan. Bukankah seharusnya Robi yang wajib marah, tapi kini malah Nando yang melotot tajam. "Dan satu lagi. Saya nggak suka ya, Bapak asal geplak, pukul, atau apapun hal buruk yang Bapak lakuin ke saya. Saya bisa laporin Bapak atas pelecehan guru terhadap muridnya!" Nando mengusap lengan kanannya, yang terasa perih dan menyengat.

"Oh, dengan senang hati. Saya juga bisa melaporkan kamu!"

"Oke. Mari kita bersaing di pengadilan." ucap Nando penuh tantangan.

Robi menatap Nando tajam, muridnya ini memang selalu berhasil membuat darahnya mendidih. Ia menahan napasnya sejenak, ketika mendengar suara bahwa upacara akan segera dimulai. "Pergi upacara, tapi jangan masuk barisan! Pisahkan dirimu di tempat hukuman!"

Tanpa menunggu lama, Nando segera pergi. Namun, sebelumnya ia sempat mengangkat telunjuknya di depan wajah. "Saya masih tidak terima atas perlakuan Bapak. Saya selalu siap kapanpun, akan sidang di pengadilan." peringatnya yang tak berpengaruh sedikitpun bagi Robi. Justru membuat Robi semakin tergugah menunjukkan wajah garangnya.

Anjir, batu akik pasaran.

Riuh siswa-siswi di lapangan seketika lenyap kala mendengar peringatan dari Sang Pembina, bahwa upacara akan segera dimulai. Dan di sana, di pinggir lapangan tepat menghadap terik matahari. Murid lelaki berdiri santai dengan sepatu putihnya, baju seragamnya yang keluar kemana-mana, ditambah atribut upacara yang sama sekali tak dipakainya.

"Eh, Ndo. Tumben lo ketangkep. Biasanya juga nyusup." bisik siswa dengan seragam rapi namun tak mengenakan dasi di samping Nando.

Nando menaikkan kedua alisnya dengan kedua tangan yang ia masukkan ke saku celananya. "Emang sengaja gue nyerahin diri, biar keliatan gentle."

"Kampret." Tommy mencibir mendengar jawaban Nando. Alasan Nando terlalu mustahil dan tak dapat dipercaya. "Eh, tuh lo jadi tontonan. Kenapa lo yang dilihat sih, jelas-jelas gantengan gue."

Nando tersenyum miring. "Mereka tau mana orang yang berat pahalanya, sama orang yang keberatan dosa." Ia menyisir rambutnya ke belakang, tanpa melirik Tommy yang menghembuskan napas jengah.

Sebenarnya Nando ini tidak terlalu tampan, hanya saja ia percaya diri karena Bundanya yang selalu memujinya bahwa jika dilihat lebih jelas, Nando cukup manis kok. Ia juga tidak terlihat cool, tapi Bunda Nando selalu memotivasinya bahwa Nando akan terlihat cool, jika ia mengganti kebiasaan mandi air hangat dengan air es. Tapi tampaknya, motivasi tersebut sampai saat ini hanyalah percuma. Karena Nando selalu memiliki jawaban aneh tapi nyata yang membuat Lidia menyerah untuk memaksa Nando mandi air dingin.

Jika musim dingin, Nando berkata. "Dingin Bun, Nando harus pake air hangat biar nggak jadi es batu."

Jika musim bagus atau sedang, Nando memiliki kalimat lain. "Nando nggak enak badan Bun, kadang-kadang suka menggigil." ujarnya sembari menggosok lengan kemudian beralih pada lehernya. "Jadi sebelum nanti Nando kejang, mending Nando mandi air hangat aja. Lagipula, nanti Bunda kalau meluk Nando juga anget kan?"

Dan jika musim panas, Nando pun tak kehabisan akal. "Di dunia ini, orang cool udah biasa Bun. Nando nggak mau nambah stok, jadi Nando tetep mandi air hangat aja. Biar, keliatan warm man."

Di samping itu, terkadang di balik kekurangan seseorang selalu tersirat kelebihan. Kali ini bukan Bunda Nando yang mengatakan, tapi orang lain. Seperti, tetangga, siswi seangkatan ataupun adik kelas, dan para gadis asing di luar sana. Katanya, tampang Nando itu manis walupun lesung pipitnya hanya sebelah. Wajahnya enak dilihat, nyaman dan nggak bikin bosen. Duh.. Nando jadi berasa aktor pendatang baru, penuh dengan pujian.

Dan semua itu juga didukung akan sikap ramah Nando pada siapapun yang memperlakukannya dengan baik, ia akan balas tersenyum jika orang lain tersenyum padanya. Kecuali.. orang gila.

Dan inilah, yang membuat banyak siswi terpikat. Walaupun ada juga yang tidak menyukai karena sikap urakannya, tapi tak dapat dipungkiri Nando termasuk senior yang paling banyak diperbincangkan oleh adik kelas.

Dan jauh di sana, di barisan paling depan. Gadis dengan rambut yang dikuncir kuda menatap Nando sekilas dengan malas, sebelum akhirnya kembali memandang lurus ke depan. "Nad, diliatin Nando tuh." bisik gadis sampingnya sembari menyinggung lengan Nada.

Nada berdecak, namun akhirnya tetap menoleh. Ia melihat Nando yang kini tersenyum sembari menaik turunkan alisnya menatapnya.

Bukannya balas tersenyum, Nada justru melebarkan kedua matanya. Melotot setajam mungkin tak peduli jika bola matanya tergelincir dari tempatnya. Dan setelah itu, ia mengalihkan pandangannya. Meninggalkan Nando yang terkekeh, melihatnya.

*****

Eaa..
Bab ini masih ada lanjutannya ya..
Intinya, terus pantengin cerita ini.

Dan.. jangan lupa tambahkan cerita ini ke reading list, biar tau setiap kali aku update.

Oke guys, see you.

Citraanggraini99

Bait PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang