1. Hadiah Untuk Papa

15.2K 1.1K 311
                                    

Mimpiku adalah bahagia bersamamu.
Namun jika mimpimu adalah bahagia tanpa ada namaku di dalamnya,
maka aku akan melepaskanmu.
-Aralyn Valerie-
-o0o-

Seorang pria dengan perawakan tinggi, tegap, dan berkulit putih pucat, berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Pria itu mengenakan kemeja putih bersih dipadukan dengan setelan jas yang membalut tubuh dengan pas. Seorang pria yang tak kalah tinggi, mengekor di belakangnya. Hal yang seolah menegaskan jika dia bukan pria sembarangan. Dengan tatapan dingin ia terus berjalan, hingga akhirnya tangan pria itu membuka pintu salah satu ruang rawat VVIP di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.

"Papa!" Jeritan bocah manis yang saat ini terbaring lemah di ranjang rumah sakit langsung menyambut pria itu.
Meskipun kehadirannya disambut dengan jerit kegirangan, namun raut wajah Elzian Derrel—si pria bertubuh tinggi tapi berwajah dingin itu—tidak menunjukkan perubahan sama sekali. Wajah itu masih sedatar sebelumnya. Tak ada senyum ataupun tarikan samar di bibirnya.

Zian yang masih berdiri jauh dari ranjang langsung mengernyitkan dahi ketika melihat gadis kecil yang terbaring di atas ranjang mengangkat kedua tangannya.

"Gendong." Gadis kecil itu merengek manja pada Zian.

Tatapan sedih terlihat jelas di mata bocah manis yang tadi memanggilnya 'Papa' karena Zian tetap diam di tempatnya.

"Aila digendong Mama saja, ya?" Suara lembut itu terdengar. Seorang wanita kini menghampiri anak itu sambil tersenyum, berusaha untuk menyembunyikan lukanya.

Dengan hati-hati wanita itu mengangkat tubuh putrinya yang lemah. Perban melilit di dahi hingga belakang kepala gadis kecil itu.

"Mengapa putriku tiba-tiba menjadi sangat berat seperti ini ya?" Suara serak itu kembali terdengar. Valerie mencoba menyembunyikan air matanya dengan senyum yang tampak sedih. "Apa karena perban dan jarum infus ini yang membuat Tuan Putri Mama jadi sangat berat?" Tangis Valerie pecah seiring dengan tangannya yang bergetar.

"Mas." Dengan mata berkabut wanita itu berbalik. Ia memandang lurus pada Zian. Suara yang terlalu lembut itu entah mengapa tiba-tiba menciptakan perasaan tidak nyaman di hati Zian. "Bisakah Mas memeluk putri kita untuk terakhir kalinya? Ia selalu bilang, ingin digendong Papa." Meski air mata menganak sungai di kedua pipinya, namun bibir pucatnya tetap tersenyum tulus.

Secara perlahan, Zian mendekat pada istri dan putrinya. Tangan kokoh Zian terulur dan mengambil putrinya dari gendongan sang istri.

Menyadari saat ini dirinya berada dalam gendongan sang ayah, Aila langsung menyandarkan kepalanya perban di bahu Zian.

"Papa." Dengan suara lemahnya, Aila kembali memanggil Zian. Panggilan kali ini tidak disertai dengan nada manja. Panggilan ini lebih terdengar seperti meyakinkan diri. Meyakinkan jika ia sedang tidak bermimpi berada dalam gendongan sang ayah.

"Hm?" jawab Zian dengan dehaman pelan.

"Aila punya cerita." Suara Aila terdengar lemah meski semangatnya mulai tampak.

"Ceritakan." Dengan suara tak kalah pelan, Zian meminta Aila bercerita.

"Aila punya teman.” Aila kemudian menarik napas panjang. "Dia selalu diganggu teman-temannya karena dia tidak punya papa." Tangan Zian yang melingkupi tubuh mungil Aila menegang tanpa alasan.

Epiphany (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang