3. Alana

6.4K 685 116
                                    

Sekarang pukul sepuluh pagi. Zian masih bergelung di bawah selimut, ia mengerang pelan dan bergerak gelisah dalam tidurnya. Pria itu bukan bergerak gelisah karena sedang bermimpi buruk. Siapa yang akan sempat bermimpi jika tidur saat hari sudah menjelang siang. Zian bergerak gelisah karena mulai merasakan gerah dan tidak nyaman.

Kelopak mata Zian bergerak perlahan, dan akhirnya terbuka sempurna. Meskipun pria itu sempat mengernyitkan matanya ketika merasa silau karena cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca.

Tatapan Zian turun, hingga ia menyadari jika ia tidur tanpa busana. Tangan kanannya bergerak seperti sedang mencari sesuatu di sampingnya. Ia menoleh ketika tidak menemukan apa yang ia cari.

"Jam berapa sekarang?" Zian bertanya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar serak khas orang baru bangun tidur. Dengan gerakan pelan, Zian mengambil ponselnya di atas nakas. Ia melihat layar ponselnya, dan langsung memijit pangkal hidungnya ketika tahu sekarang sudah pukul sepuluh lewat delapan menit. "Kenapa tidak ada yang membangunkanku?" gumam Zian.

Tanpa merasa perlu menutupi tubuhnya, Zian berjalan ke arah kamar mandi. Ia membutuhkan waktu setengah jam untuk membersihkan tubuhnya yang lengket. Setelah selesai mandi dan berpakaian, Zian keluar dari kamar. Rambut setengah keringnya, membuat Zian terlihat sangat segar. Yang dituju pertama kali oleh Zian ketika keluar kamar adalah dapur karena perutnya mulai keroncongan.

"Tuan sudah bangun?" tanya Bi Marni.

"Hmm." Zian menjawab dengan gumaman. "Siapkan makanan untukku, Bi," perintah Zian sopan. Meskipun Zian selalu berbicara tanpa eksresi, tapi ia selalu sopan kepada orang yang lebih tua darinya, termasuk pada asisten rumah tangga di rumahnya.

Bi Marni pun dengan cekatan menyiapkan makanan untuk Zian. Selama menunggu makanan yang sedang Bi Marni siapkan, mata Zian berkeliling melihat ke seluruh sudut ruangan.

"Selamat makan, Tuan." Bi marni menyusun nasi dan lauk-pauk di atas meja. "Saya permisi dulu, Tuan." Bi Marni pun segera pergi ke belakang setelah Zian menganggukkan kepalanya pelan.

Zian mulai menyantap makanan yang sudah Bi Marni siapkan tadi. Ia makan dengan lahap, piring yang tadi berisi penuh dengan nasi, ikan saos dan sayur bening, sekarang nyaris kosong dan bersih. Sepertinya Zian memang benar-benar kelaparan. Setelah selesai dengan urusan cacing yang mengamuk di perutnya, Zian pun beranjak dan berkeliling di rumah besarnya. Ia terlihat sedang mencari sesuatu, sesekali Zian nampak menggaruk belakang telinganya.

"Bi, Lerie di mana?" Akhirnya Zian memutuskan bertanya pada Bi Marni yang kebetulan lewat di hadapannya.

Ekspresi Bi marni berubah menjadi murung. "Nyonya tadi pagi-pagi sekali sudah pergi, Tuan," jawab Bi Marni, lalu menundukkan kepala, mencoba menghindari bertatapan langsung dengan Zian.

Tanpa melihat lagi pada Bi Marni yang masih menundukkan kepalanya, Zian berbalik dan masuk ke dalam kamar. Matanya langsung melihat ke arah lemari besar yang ada di kamarnya dan Valerie. "Dia benar-benar pergi," gumam Zian ketika tidak melihat koper Valerie di dekat lemari itu. Tanpa pikir panjang, Zian mengambil kunci mobil dan ponselnya. Ia bahkan tidak mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Pikirannya hanya satu, yaitu menyusul Valerie.

-o0o-

Karena hari ini adalah hari minggu, jalan agak ramai. Zian pun harus memerlambat laju kendaraannya ketika melintas di kawasan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta. Dan itu membuat Zian harus lebih lambat sepuluh menit. Dengan emosi yang memuncak, Zian memukul kendali mobil.

Saat mengambil jalan keluar menuju Kranji,  Zian langsung menghembuskan napas berat. Setidaknya ia bisa menambah kecepatan mobilnya. Pria itu ingin segera sampai ke rumah orang tua Valerie dan membawa istrinya itu pulang ke Jakarta.

Epiphany (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang